Headlines News :
Home » » Skandal Pengambilan Tanah Warga Oleh PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Skandal Pengambilan Tanah Warga Oleh PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Written By Info Breaking News on Kamis, 26 Juli 2012 | 15.51

Ogan Ilir (Palembang), Infobreakingnews - Masalah yang menyebabkan kemiskinan warga dari zama penjajahan hingga saat ini adalah ketidakadilan dari para penguasa - penguasa.

Salah satu bukti dari ketidakadilan itu adalah permasalahan panjang warga 6 kecamatan di Ogan Ilir Sumatera Selatan yang lahan pertanian mereka di ambil paksa oleh PTPN VII sejak tahun 1982 lalu. Perjuangan panjang masyarakat dari desa Sribandung, Tj. Laut, Tj. Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai, Sentul,


Limbang Jaya (KecamatanTanjung Batu), Desa SriKembang, Rengas, Lubuk Bandung (kecamatan Payarman), Desa Ketiau, Betung, Payalingkung, Lubuk Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat 1&2, Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tj. Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam Kecamatan Tanjung Raja untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka justru menempatkan mereka sebagai “lawan” dari negara dikarenakan pemerintah abai terhadap persoalan-persoalan agraria yang seharusnya dituntaskan oleh negara sebagaimana Tap MPR nomor IXtahun 2001 dan UUPA 1960.

Terlebih lagi, dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai, dengan kata lain PTPN VII telah merugikan negara karena penghasilan dari kurang lebih 14.000 ha lahannya tidak dilaporkan sebagai pemasukan bagi negara. 

Permasalahan ini secara nyata diketahui oleh Kementrian BUMN selaku pembina BUMN di Indonesia dalam hal ini salah satunya adalah PTPN VII, demikian tutur Anwar Sadat, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan.

Upaya-upaya warga yang kemudian menggabungkan diri melalui Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) memuncak pada hari Senin, 21 Mei 2012, dimana warga memutuskan untuk memblokade akses jalan menuju pabrik pengolahan gula PTPN VII. Atas aksi warga tersebut baru kemudian Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan memfasilitasi warga untuk berdialog dengan PTPN VII bertempat di DPRD Kabupaten Ogan Ilir. Hasil dari kesepakatan warga dengan PTPN VII adalah akan dilaksanakan negosiasi di tanggal 7 Juni 2012.

Rangkaian tuntutan warga melalui aksi berlanjut di tanggal 7 Juni 2012 untuk mendesakan proses negosiasi yang terkesan ditunda-tunda oleh PTPN VII. Buntut dari aksi di tanggal 7 Juni tersebut, 14 orang warga dikriminalkan dengan tuduhan melanggar UU No 51/Prp/1960 tentang Agraria. Dari rangkaian kejadian tersebut semakin jelas memperlihatkan PTPN VII tidak benar-benar memiliki niat untuk menyelesaikan masalah yang sudah bertahun-tahun terjadi.

Paska aksi yang dilakukan oleh sekitar 600 orang petani Ogan Ilir ke Kementrian BUMN pada tanggal 3-4 Juli 2012, dimana salah satu hasilnya pihak Kementrian BUMN bersedia duduk bersama dengan petani pada tanggal 16 Juli 2012. Namun lagi-lagi, proses negosiasi yang berlangsung tidak menghasilkan keputusan yang berpihak kepada puluhan ribu Petani. PTPN VII tidak mempunyai niat yang baik untuk menyelesaikan konflik dengan petani, dan ironisnya Kementerian BUMN yang menjadi induk dari unit usaha negara yang membawahi PTPN VII salah satunya membiarkan praktek buruk PTPN VII terus berlangsung, mulai dari perampasan tanah petani, pelanggaran hak asasi manusia lainnya, hingga manipulasi-manipulasi yang sesungguhnya merugikan negara dan hanya menguntungkan bagi elit di PTPN VII.

Kementrian BUMN yang dipimpin oleh Dahlan Iskan yang konon akan melakukan reformasi di Kementriannya, justru lepas tangan dan tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh PTPN VII ini dan cenderung memposisikan diri hanya sebagai mediator, ungkap Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria.

Lepas tangannya Kementerian BUMN terhadap Praktek Buruk PTPN VII ini semakin memperkuat dugaan bahwa praktek-praktek yang memposisikan BUMN sebagai “ladang” bagi pendanaan politik dan praktek politik traksaksional yang dijalankan rezim pemerintah hari ini yang berakibat pada diinfiltrasinya lembaga-lembaga negara oleh para perusak lingkungan, imbuh Abetnego Tarigan, Direktur Ekskutif Nasional WALHI.

Wahyu Agung dari Serikat Petani Indonesia menambahkan, praktek buruk pengelolaan lahan dan mandegnya upaya reforma agraria yang menjadi mandat UUPA tahun 1960 ini memperlihatkan bahwa pengurus negara saat ini tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Permasalahan ketimpangan distribusi penguasaan lahan dan sumberdaya alam yang terjadi menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu mendistribusikan kesejahteraan kepada warga negara, dilihat pada konteks Sumatera Selatan saja, selama tiga tahun terakhir ini jumlah sengketa agraria yang di adukan terus meningkat. Jika tahun 2009 terdapat 18 aduan sengeta agraria, di tahun 2010 meningkat menjadi 27 aduan dan di tahun 2011 bertambah lagi menjadi 32 aduan sengketa agraria.

Dengan demikian maka keterkaitan antara praktek buruk perusahaan-perusahaan negara memiliki korelasi cukup signifikan dengan pengabaian hak rakyat, dan akumulasi ilegal keuntungan untuk satu kelompok yang berakibat pada semakin jauhnya bangsa ini dari cita-cita nasionalnya sebagaimana mandat Pembukaan UUD 1945. ***Nadya
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved