Headlines News :
Home » » Hebatnya Putra Batak Rekson Sitorus Mengolah Sampah Kotoran Menjadi Dolar

Hebatnya Putra Batak Rekson Sitorus Mengolah Sampah Kotoran Menjadi Dolar

Written By Unknown on Jumat, 21 Februari 2014 | 23.03

Jakarta, infobreakingnews - Dia bukanlah seorang birokrat pemerintahan, yang mengenakan jas datang dengan petantang-petenteng memeriksa aparat bawahan. Dia juga bukan seorang pemimpin partai politik, yang dengan baju safari berpidato berjanji muluk-muluk untuk merebut suara rakyat dengan kebohongan-demi-kebohongan. Rekson Sitorus, 57 tahun, lebih mirip seorang bandar hamijon (kemayan) dari Samosir.
Tapi, tunggu! Jangan anggap enteng sosok kita yang satu ini! Memakai baju kaos T-shirt hitam bergambar ular naga yang sedang melingkar-lingkar yang membalut dadanya yang tambun, Reksonlah yang memberi makan kota Bekasi di Jawa Barat. Benar-benar memberi nafkah. Dari tangannyalah mengalir dana Rp 35 miliar pertahun untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kota kabupaten yang terletak di timur Jakarta tersebut.

Rokoknya sambung-menyambung. Dia tentu kaya, walau tidak dia tunjukkan. Bisa dipahami, karena dia mencapai posisinya yang sekarang dengan susah-payah. Begitulah rupanya caranya mensyukuri kehidupan yang sedang dia tuai. Memang, terkesan dia seorang yang tidak konsisten dalam pilihan hidup. Tetapi, menikung dalam menempuh perjalanan hidup toh bukan satu dosa. Begini ceritanya: Setelah lulus SMA tahun 1971 di Pematang Siantar, dia tembak langsung ke Jakarta. Melamar ke Akademi Ilmu Pelayaran, sekolah tinggi yang menjadi favorit bagi mereka yang bercita-cita ingin hidup senang dengan menjadi nakhoda.

Seseorang bermarga Simanjuntak, kenalannya yang bertempattingal di Tanjung Priok, membujuknya untuk melamar ke situ. Lulus tahun 1974.Memulai hidup dengan bergulat bersama tanah urukan dan berani menantang sengitnya baunya sampah, halak kita Batak yang lahir di kampung Habinsaran, Toba Samosir, ini akhirnya menjadi pemilik PT Godang Tua Jaya, perusahaan yang dipercayakan pemerintah DKI Jakarta untuk mengelola tempat pembuangan sampah terpadu di Bantar Gebang, Bekasi. Pusat pembuangan dan pengelolaan sampah terbesar di Indonesia. Gayanya tidak seperti seorang pengelola proyek miliaran rupiah. Sikapnya lebih dekat dengan gaya seorang toké.

Dia tidak menerima tamunya di ruang ber-AC. Tapi, di semacam pondok bambu yang nangkring di atas daratan menghadap ke hamparan tanah kosong berhektar-hektar luasnya di daerah yang bernama Pangkalan 10, Cilengsi, perbatasan Bekasi-Bogor. Tak jauh dari Kota Wisata Cibubur. ”Eee… Saya lebih senang begini. Lebih natural,” katanya melihat ke sekelilingnya yang hijau seraya memperbaiki letak duduknya di kursi sambil memutar-mutar jam tangannya yang kuning keemasan. Perkantorannya ini menjadi pusat divisi angkutan perusahaannya.
”Setelah praktek di laut, saya tidak bisa menghayati pekerjaan itu. Batin saya berkata bahwa sosok saya bukan seorang pelaut. Berminggu-minggu terkatung-katung di laut, tak tahan. Saya tidak bisa menjiwai pekerjaan di laut.”
Jadi, sebenarnya apa sih cita-cita Anda pada mulanya? “Dulu, waktu kecil cita-cita saya sebenarnya luar biasa, mau menjadi presiden…!” katanya tertawa setengah mati. Ceritanya, dalam suasana hati tidak menentu, tampillah seseorang yang juga bermarga Sitorus yang mengajaknya berbisnis pengurukan tanah. ”Saya langsung berubah profesi. Setelah saya coba, saya perhatikan, saya merasa cocok. Saya langsung tertarik. Saya katakan pada diri saya, ah, ini dunia saya. Menjadi kontraktor penggalian tanah. Saya masih ingat waktu itu tahun 1980,” katanya bercerita.
Dari sinilah katanya pergulatan hidupnya menemukan jalan, dan perusahaan yang dia kelola berkembang dan berkembang terus. Masih jelas dalam ingatannya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Bantar Gebang itu dulunya adalah sumber tanah urukan untuk proyek pembangunan perumahan di Podomoro, Kelapa Gading, dan Sunter.
Toké haminjon

Dia menganggap Hiobaja Sitorus adalah ”guru”-nya dalam bisnis tanah uruk. Sang guru kemudian mengalihkan usaha ke bidang perhotelan dan mendirikan sebuah hotel di Tambun. Rekson Sitorus bertahan dengan lapangan pekerjaan yang dia anggap pas untuk hidupnya. Menyediakan jasa pelayanan pengurukan tanah. Cocok dengan jiwanya. Dan, puji Tuhan, dalam waktu tujuh tahun, dari seorang yang menjual tenaganya kepada orang lain, Rekson telah menjadi raja atas dirinya sendiri. Dia sudah menguasai 5 ha tanah di Bantar Gebang ketika pemerintah DKI memutuskan untuk membebaskan daerah itu untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir untuk wilayah Jakarta. Pintu lebih terbuka buatnya untuk mengembangkan layar lebih lebar lagi mengarungi bisnis di dunia yang dianggap jorok oleh orang lain: sampah.

Pada tahun 1993 dia mendirikan PT Godang Tua Jaya. Nama itu agaknya sengaja dipilih karena di situ terkandung obsesi untuk menjadi ”berkah yang besar.” Apa salahnya untuk mematok sebuah harapan. Yang jelas ini bukan sekedar mimpi. Perusahaan yang dia kendalikan kemudian digandeng oleh pemodal besar, PT Navigat Organic Energy Ind., dengan melibatkan investasi sebesar Rp 700 miliar. Siapa di kampung Habinsaran, Toba Samosir, yang pernah mimpi punya bisnis dengan volume uang sebesar ini? Tidak seorang pedagang kemenyan paling piawai sekalipun.
Selain keputusannya yang tepat untuk menjauh dari laut, ada bakat yang sudah tertanam dan dibawanya dari kampungnya di Habinsaran. Bapaknya adalah seorang toké kemenyan. ”Kami, anak-anak, sering diajak orangtua untuk menyaksikan transaksi dan nego haminjon. Memang, kami tidak dilibatkan secara langsung, melainkan diberi kesempatan untuk mendengarkan orang-orang ngomong. Jadi, sejak kecil, kami sudah diperkenalklan dengan perdagangan hamijon dan kopi. Bapak kami mengumpulkan haminjon dan menjualnya di Pematang Siantar,” kenang Rekson.
Dia bersaudara enam orang. Empat laki-laki dan satu perempuan. Yang paling bontot lelaki, tinggal di kampung. Rekson anak kedua. Ada dua saudaranya yang juga berbisnis di bidang tanah urukan. ”Memang begitu, kalau sudah ada yang cukup makan di perantauan, maka diajaklah saudara dari kampung untuk bergabung. Maka, saya pun mengajak abang dan adik saya datang ke Jakarta.”
Salah seorang adiknya bekerja sebagai pegawai negeri, di Bulog. ”Tetapi, melihat tuduhan yang dilancarkan sekarang terhadap pegawai negeri, kita menjadi sedih. Karena tidak semua pegawai negeri korupsi. Misalnya, adik saya itu kalau tidak kita dukung secara finansial, maka dia tidak akan mampu menyekolahkan anaknya dan bisa membeli rumah. Padahal, kerjanya di Bulog,” katanya prihatin. Dia sendiri melarang anaknya untuk menjadi pegawai negeri. Sikap yang mungkin berseberangan dengan sebagian orang Batak yang silau oleh kekayaan materi.
Kalau tertawa, tawanya berderai. Perutnya yang sedikit menonjol turut berguncang. Tak ada yang ditahan. Rekson memiliki watak yang terbuka. Inilah mungkin yang membuat dia sukses dalam bisnis yang tak-bisa-tidak harus berhadapan dengan rupa-rupa manusia dengan segala karakternya. ”Kuncinya adalah mencoba berteman dengan banyak orang. Tak pernah mencari musuh. Itulah yang membuat kita bisa eksis sampai sekarang. Kita juga selalu berupaya berbuat baik terhadap lingkungan. Kepada karyawan pun saya tidak pernah menunjukkan bahwa saya bos. Pengalaman saya menunjukkan orang yang menamakan diri bos selalu bersikap kasar. Kepada aparat mereka juga sombong-sombong. Loh, masyarakat ini kan asetmu kok kau kasarin. Atau mungkin karena orang Batak itu punya karakter kasar seperti itu?!”
Mabuk-mabukan

Di dalam rumah tangga, percaya atau tidak, Rekson adalah juga seorang manajer yang peka dan tajam. Dia membiarkan istrinya, Lina boru Pasaribu, 56 tahun, tidak terlibat dalam perusahaan. Tugasnya memenuhi kodarat sebagai ibu, membesarkan dan mendidik anak-anak. Rekson bukanlah pelaut gagal yang tidak bisa melihat pantai untuk masa depan anak-anaknya. Dia adalah pelaut yang gagal, tetapi dia tahu pasti ke mana bahtera keluarganya akan dia layarkan. Anaknya empat. Yang pertama dan kedua kembar. Anak pertama, Rony Pandapotan Sitorus, dia tempatkan untuk mengelola divisi alat-alat berat. Ernika Tiurmauli boru Sitorus telah menikah dengan Douglas Manurung, yang sekarang duduk sebagai Managing Director PT Godang Tua Jaya. Anak ketiga, Elfrida Junita, menikah dengan Sidabutar, sementara yang paling bungsu, Henry Fonda Agung, yang membangun rumahtangga dengan pasangan yang dia kenal ketika kuliah di Yogyakarta, mengelola divisi angkutan.
Resesi ekonomi tahun 1998 juga menghantam Rekson. Sampai-sampai alat-alat usahanya disita karena tidak bisa menyelesaikan kewajiban. ”Saya menghadapi tantangan itu dengan sabar, dan tidak menyelasikannya dengan jalan orang yang kehilangan akal. Kawan-kawan saya menyelesaikannya dengan mabuk-mabukan, karena tak sanggup menghadapi kenyataan. Dan, tak sedikit mereka yang terjerat narkoba karena resesi itu,” katanya kalam.
Ketika diceritakan bahwa ada seseorang yang pernah melihat dia menahan tangis ketika sedang berdoa di Gereja Pentakosta Indonesia di daerah Cililitan, Jakarta, Rekson tertegun dalam duduknya. Disedotnya nikotin dari rokoknya dalam-dalam dan ujarnya: ”Kami datang dari Tapanuli ke Jakarta ini hanya membawa kolor saja. Jadi, kalau kita hitung-hitung, kalau kita bisa mencapai dan menikmati keberhasilan seperti ini, mustahillah itu karena kerja keras kita saja. Semua itu adalah karena kasih dan kemurahan Tuhanlah. Murni karena Tuhan memberikan itu kepada kita.”
Dia bisa memperkirakan keuntungan dalam bisnis yang terhitung dalam angka-angka. Tapi, dia juga sadar ada yang tak bisa dia perkirakan. Sesuatu yang datang dari Atas. ”Kadang tak disangka-sangka ada orang yang datang kepada kita membawa rezeki. Waktu kita berkeluh-kesah, tahu-tahu ada yang datang membawa order. Itu adalah kasih Tuhan,” katanya takzim.***Hotman J lumban Gaol
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved