Jakarta. Info Breaking News - Kalangan pengusaha menganggap pemidanaan terhadap korporasi untuk kasus tindak pidana korupsi (tipikor) akan mematikan investasi yang justru tengah ditingkatkan pemerintah di Tanah Air. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang kebijakan publik, Danang Girindrawardhana dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (26/7).
"Kami apresiasi adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi sebagai pedoman dan mengisi kekosongan hukum terkait prosedur penanganan kejahatan yang dilakukan korporasi," katanya.
Tetapi, menurutnya, Perma tersebut belum cukup mengatur secara terperinci perihal penjeratan tersebut. Ditambah lagi, jenis-jenis korporasi yang banyak dengan beda aturan main. Untuk itu, penjeratan korporasi dalam tipikor dianggap mampu menimbulkan kekhawatiran dari kalangan pengusaha yang berakibat berkurangnya investasi.
Apalagi, lanjutnya, aturan di Tanah Air dinilai masih banyak yang tumpang tindih. Bahkan, terkadang terus berganti seiring bergantinya pemerintahan, sehingga semakin mempersulit dunia usaha. Padahal, pemerintah tengah terus berupaya meningkatkan investasi dengan melakukan deregulasi.
"Bagi pengusaha, ini mengerikan. Kita terlalu banyak regulasi dan tumpang tindih. Sekarang, lagi proses deregulasi tiba-tiba muncul tindakan aparat penegak hukum yang seperti ini. Kita (pengusaha) jadi mati," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendorong keberadaan dasar hukum yang jelas dari proses pemidanaan terhadap korporasi. Meskipun, ia mengaku setuju bahwa korporasi yang melakukan suap terhadap pejabat negara harus ditindak dengan tegas.
Hal senada juga dikatakan mantan Presiden Direktur Bursa Efek Jakarta dan Bursa Berjangka Jakarta, Hasan Zein Mahmud. Menurutnya, belum ada aturan yang menjelaskan ukuran sehingga suatu korporasi bisa dipidanakan.
Terbukti, lanjutnya, beberapa perusahaan tidak ditindak padahal secara jelas petingginya terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya, perusahaan milik terpidana kasus korupsi Muhammad Nazaruddin.
Sementara itu, senada dengan Danang, praktisi hukum pidana Maqdir Ismail juga mendorong adanya aturan yang lebih jelas mengatur mengenai teknis pemidanaan korupsi terhadap korporasi. Dalam pandangannya, keberadaan Perma tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi dianggap tidak cukup.
"Buatlah Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) bagaimana mengatur perseroan bisa diadili dan hukumannya seperti apa," desaknya dalam acara diskusi yang sama.
Menurutnya, sejauh ini, ukuran korporasi melakukan tipikor dalam UU Tipikor ataupun Perma No.13 Tahun 2016 belum jelas mengatakan unsur-unsur perbuatan sehingga suatu korporasi bisa dikatakan terlibat dalam satu upaya korupsi.
"Aturan di Inggris mengenai penyuapan jelas mengatakan bahwa suatu korporasi bisa dijerat jika ada tindak pidana penyuapan atau menguntungkan perusahaan tersebut. Jadi tidak bisa hanya dengan mengatakan ada tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan," jelasnya.
Mewakili aparat penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukumnya, Rasamala Aritonang menegaskan bahwa aturan yang ada di Indonesia sudah secara tegas mengatakan korporasi bisa dipidana atas kasus korupsi.
Aturan tersebut, ungkapnya, tercantum dalam Pasal 20 UU Tipikor dan diatur lebih rinci tentang teknis pemidanaannya dalam Perma No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Pemikiran dasarnya adalah kita tidak ingin praktik bisnis di Indonesia dilakukan dengan cara yang tidak sehat. Tetapi, tidak sembarang korporasi juga bisa ditindak. Semua harus sesuai dengan UU Tipikor dan Perma," kata Rasamala.
Dalam Perma No.13/2016, lanjutnya, jelas dikatakan salah satunya bahwa sebelum dijerat korporasi harus disebut dalam dakwaan. Selain itu, dipastikannya bahwa penegak hukum sudah mengantongi bukti yang kuat sebelum menyeret korporasi ke pengadilan atas dugaan tipikor.
Untuk itu, ia berharap para pengusaha tidak perlu khawatir dengan adanya aturan menjerat korporasi. Sebaliknya, mendorong agar semua perusahaan yang ada di Tanah Air meningkatkan sistem kepatuhannya sehingga terhindar dari pemidanaan.
"Kami telah membangun program profit dengan para pengusaha. Dengan tujuan mendorong korporasi membentuk sistem kepatuhan, sehingga bisa digunakan sebagai panduan dalam beroperasi," ungkapnya.
Senada dengan Rasamala, Ahli Hukum Pidana, Prof Andi Hamzah juga mengatakan bahwa korporasi bisa dipidanakan sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Tetapi, dengan sejumlah catatan, yaitu jika jelas ada perbuatan dari oknum direktur yang atas nama diri sendiri atau memerintahkan anak buah atas nama diri sendiri menyuap pejabat negara untuk tujuan menguntungkan perusahaan.
"Hanya dua dari aturan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang diambil dalam UU Tipikor yang menempatkan korporasi sebagai subjek (hukum). Pertama, ketika menyuap pegawai negeri sipil. Kedua, ketika menyuap hakim agar diringankan hukumannya," jelasnya.
Bahkan, lanjutnya, pemidanaan terhadap korporasi juga diatur tegas dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Walaupun, diungkapkannya dalam aturan internasional tersebut sesungguhnya tidak diatur bahwa unsur merugikan keuangan negara dikatakan senagai tipikor.
Dengan kata lain, cukup ada unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sudah dikatakan melakukan korupsi dan dapat dijerat dengan pidana korupsi.
Sebagaimana diketahui, selama ini, korporasi sulit dijerat dalam kasus korupsi sampai keluarnya Perma No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Kemudian, Perma tersebut dijadikan dasar KPK menjerat PT Duta Graha Indah, yang kini bernama PT Nusa Konstruksi Enjiniring dalam kasus dugaan korupsi pembangunan proyek RS Pendidikan Udayana. *** Any Christmiaty.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !