Jakarta, Info Breaking News - Untuk kesekian kalinya, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap hakim dan aparat pengadilan kembali terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pekan lalu, menangkap tangan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Dewi Suryana, dan panitera pengganti Pengadilan Negeri Bengkulu, Hendra Kurniawan.
Dewi Suryana ditangkap KPK atas dugaan menerima suap terkait dengan vonis persidangan korupsi di Dinas Pengelolaan Aset Bengkulu. Dalam kasus itu, vonis sudah dijatuhkan terhadap terdakwa Wilson dengan hukuman 1 tahun 3 bulan penjara.
Atas vonis ringan tersebut, Dewi Suryana diduga menerima uang suap sebesar Rp125 juta. Kita tentu prihatin, bahkan sangat prihatin, dengan tertangkapnya lagi hakim dan aparat pengadilan dalam dugaan kasus suap terkait dengan perkara.
Yang jauh lebih memprihatinkan ialah, selain sebagai hakim yang jelas-jelas merupakan aparat penegak hukum, mereka merupakan aparat penegak hukum yang mengadili perkara tindak pidana korupsi.
Peristiwa itu tentu sangat menghentak nurani dan kesadaran kita. Bagaimana mungkin hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi justru terlibat jauh dan bahkan memelopori perilaku tindak pidana korupsi itu sendiri?
Hal tersebut sepintas terkesan seperti kejadian yang sangat tidak masuk akal. Akan tetapi, nyatanya ia sudah menjadi fakta yang sangat telanjang dan terus berulang. Sejak KPK berdiri pada 2002, tercatat sudah ada 16 hakim di bawah Mahkamah Agung (MA) dan sembilan aparat pengadilan serta pegawai MA yang terjaring OTT oleh KPK.
Mereka yang ditangkap KPK, sekali lagi, bukan hanya hakim karier, melainkan juga hakim nonkarier atau ad hoc tindak pidana korupsi. Jumlah penangkapan terhadap hakim sebanyak itu jelas sudah terlampau banyak, apalagi bila asumsi bahwa jumlah hakim dan aparat peradilan yang tertangkap tangan itu merupakan gejala 'gunung es' benar adanya.
Artinya, praktik patgulipat yang berlangsung di bawah permukaan dan lolos dari pantauan KPK jauh lebih banyak lagi. Artinya, penangkapan demi penangkapan oleh petugas KPK ternyata tidak membuat aparat penegak hukum, khususnya hakim, merasa jera. Ada saja hakim yang merangkap profesi sebagai penjual vonis.
Gejala ini tentu sangat mengerikan. Kita geram karena hakim yang bertugas sebagai benteng terakhir keadilan dan kebenaran ternyata tidak berfungsi menjaga gawang peradilan. Sebaliknya, ada di antara mereka yang justru secara aktif ikut bertindak sebagai 'pencetak gol' kasus korupsi.
Mereka rela menggadaikan kehormatan dan kemuliaan sebagai pengawal keadilan karena godaan uang. Karena itu, kita melihat bahwa sesuatu yang sangat salah masih saja berlangsung di dunia peradilan, khususnya di kalangan para hakim yang berada di bawah pembinaan MA.
Kita pun sepakat dengan pernyataan hakim agung Gayus Lumbuun yang menyebut dunia peradilan saat ini berada dalam kondisi darurat. Dunia peradilan kita disebutnya tengah mengalami tsunami.
Untuk mengatasi kondisi darurat dunia peradilan itu, kita menuntut lembaga Mahkamah Agung benar-benar turun tangan mengatasi situasi. Kita ingin visi terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung, yang ditetapkan para pemimpin MA, benar-benar diimplementasikan.
Karena itu, pembenahan yang bersifat represif harus dilakukan MA. Evaluasi menyeluruh kepada aparatur dan pimpinan dari semua strata peradilan pun tidak boleh lagi ditawar-tawar. *** Emil Simatupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar