Meski sudah
bekerja selama 100 hari, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan
menilai belum melihat arah kerja yang jelas di pemerintahan Anies dan Sandiaga.
Kebijakan yang
selama ini dibuat oleh Anies dan Sandi dinilai tidak berdasarkan tahapan yang sistematis
sehingga terlihat garis benang merah arah tujuan pembangunan Kota Jakarta.
Kebijakan yang dibuat cenderung responsif dan tidak memiliki tahapan yang
runtut sehingga tidak berkesinambungan.
Sekretaris DPD
PDI Perjuangan DKI Jakarta yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD DKI, Prasetio
Edi Marsudi mengatakan dalam menyikapi 100 hari kerja Anies-Sandi, Fraksi PDI
Perjuangan tidak akan menyoroti mengenai 23 janji yang dinyatakan dalam kampanye
Pilkada DKI 2017. Pasalnya, Fraksi PDI Perjuangan memandang tahapan Pilgub DKI
sudah selesai dan sekarang saatnya memasuki periode kerja.
“Fraksi PDI
Perjuangan mengingatkan, tiga gubernur sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi), Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat telah meletakkan landasan yang
kuat untuk penataan Kota Jakarta. Yang tidak hanya menjadi kota yang modern dan
berkembang sesuai perkembangan zaman, tetapi juga menjadikan kota Jakarta
sejajar dengan kota-kota besar di negara-negara maju lainnya,” kata Prasetio
dalam konferensi pers yang digelar di ruang Fraksi PDI Perjuangan, gedung DPRD
DKI, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Selama lima
tahun terakhir ini, dengan kepemimpinan ketiga gubernur tersebut, PDI
Perjuangan melihat warga Jakarta sangat optimistis arah pembangunan Jakarta
melaju ke arah yang positif. Mulai dari penataan ruang, manajemen lalu lintas,
ketertiban umum, pendidikan, tata kelola birokrasi yang lebih baik yang
melayani, peningkatan kualitas pelayanan publik dan distribusi keadilan sosial
serta pembangunan infrastruktur sangat masif.
“Namun, hasil
kerja yang sebelumnya sudah bagus itu sekarang berubah 180 derajat atas nama
kemanusiaan dan istilah yang sering dipakai Anies yakni keberpihakan dan
keadilan,” ujarnya.
Di tempat yang
sama, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI, Gembong Warsono juga turut mengungkapkan
fraksinya menyoroti 11 hal yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat
banyak sepanjang 100 hari kerja Anies-Sandi.
Pertama, soal
pernyataan Anies mengenai “pribumi” saat pidato pertama di Balai Kota usai
pelantikan. Ucapannya itu bisa dimaknai keduanya masih belum move on dari
kontestasi Pilgub. Pasca Pilgub, gubernur-wakil gubernur seharusnya berdiri di
tengah-tengah. Bukan lagi milik orang-orang yang memilihnya, mereka harus
bekerja demi seluruh warga Jakarta.
“Tidak perlu
lagi ada dikotomi antara pribumi-nonpribumi, pendukung dan bukan pendukung.
Kami minta Anies-Sandi fokus bekerja menata Jakarta bukan pintar menata kata,”
kata Gembong.
Kedua, penataan
Monas yang justru membuat ikon wisata Jakarta menjadi tidak tertata rapi. Anies
dan Sandi membuka kawasan Monas untuk kegiatan umum dan mencopot pagar pembatas
rumput. Padahal Monas berada di kawasan ring satu.
Ada sejumlah
aturan yang mengategorikan lokasi Monas dan sekitar Jalan Medan Merdeka
Selatan, Utara, Barat, dan Selatan ke dalam zona netral. Peraturan itu tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan
Merdeka di wilayah DKI Jakarta, termasuk Monas.
Aturan tersebut
dibuat turunannya berupa Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun
2004. Pada kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terbit
prosedur pemanfaatan area Monas Nomor 8 Tahun 2015.
Kebijakan
mencabut pagar pembatas rumput mengakibatkan kondisi rumput banyak yang
menguning karena mati terinjak. Dan terlihat ada bekas injakan kaki para
pengunjung yang melintasi atau yang duduk di atas rumput. Kondisi ini membuat
para petugas Monas harus melakukan perawatan ekstra. Contohnya, setiap pagi,
para petugas wajib menyiram dahulu rumput-rumput Monas.
Hal yang
selanjutnya menjadi sorotan adalah jumlah anggota Tim Gubernur untuk Percepatan
Pembangunan (TGUPP) yang sangat fantastis. Yakni berjumlah 73 orang dengan
alokasi anggaran yang juga fantastis yaitu Rp 28 miliar.
“Padahal kalau
dilihat peraturan sebelumnya, jumlah TGUPP tidak lebih dari 15 orang. Kami
menilai, TGUPP yang sekarang dengan jumlah fantastis dengan alokasi anggaran Rp
28 miliar justru APBD DKI. Karena fungsinya tumpang tindih dengan SKPD. Seperti
di dalam struktur organisasi TGUPP, di dalamnya dibentuk Komite Pencegahan
Korupsi atau KPK KW fungsinya hampir sama dengan Inspektorat,” ujarnya.
Fraksinya
menilai, TGUPP ini tidak lebih dari lapangan kerja bagi timses Anies saat
Pilkada lalu, bukan dengan mekanisme rekruitmen profesional. Dana publik semestinya
digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan publik, bukan untuk balas jasa
politik.
Keempat, ia
melanjutkan, penataan Tanah Abang yang membuat kawasan tersebut bukan semakin
rapi, malah semakin kumuh, dan kemacetan semakin menjadi parah. Niatan
memuliakan pejalan kaki dengan trotoar yang steril pun gagal, karena sampai
saat ini trotoar masih dikuasai PKL.
Fraksi PDI
Perjuangan mendesak Anies segera mengembalikan fungsinya jalan sebagaimana
diatur UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Karena terbukti kondisi Pasar Tanah
Abang setelah penataan makin kacau.
“Kami ingatkan
kepada Anies jangan karena kepentingan segelintir orang, mengorbankan suara
mayoritas. Kami melihat keputusan Gubernur DKI menutup ruas jalan di depan
stasiun Tanah Abang untuk PKL telah banyak melanggar aturan hukum yang ada,”
ungkapnya.
Kelima,
pascaputusan Mahkamah Agung (MA) tentang pencabutan aturan larangan motor.
Fraksi PDIP
menyesalkan lambatnya eksekusi kebijakan yang harusnya dilakukan cepat oleh
gubernur setelah dibatalkannya Pergub Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan
Lalu Lintas Sepeda Motor oleh Mahkamah Agung. Harusnya, Anies dapat membuat
aturan yang mengatur pembatasan penggunaan kendaraan.
Enam,
pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) dengan konsep DP nol rupiah.
Gembong menegaskan terlihat inkonsistensi kerja Anies dan Sandiaga.
Dulu dijanjikan
akan dibangun rumah tapak dengan harga cicilan yang murah untuk masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR). Ternyata sekarang kenyataannya di lapangan, justru
DP nol rupiah dibangun dalam bentuk rumah susun sederhana milik (rusunami) yang
tidak bisa dicicil oleh MBR.
Kemudian
kalaupun bunganya ditanggung pemerintah maka itu melanggar Permendagri No.
21/2011 sebagai perubahan kedua Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Yakni, Pasal 54A ayat (6) Permendagri itu memang
menyebut penganggaran kegiatan tidak boleh melampaui akhir tahun masa jabatan
kepala daerah.
“Ingat, kepala
daerah tidak bisa bikin program yang pembiayaannya sampai 20 tahun. Karena masa
pemerintahan mereka, minimal lima tahun hinggal maksimal 10 tahun bila terpilih
kembali,” tegasnya.
Tujuh, One
Karcis One Trip (OK Otrip) masih dilaksanakan setengah hari. Menurutnya,
anggota dewan yang merupakan wakil rakyat lebih mendukung setiap yg ber-KTP DKI
digratiskan saja sekalian. Manfaatkan APBD yang ada jadi dimaksimalkan
subsidinya buat rakyat. Seperti yang telah dilakukan oleh Bandung.
Delapan, Fraksi
PDI Perjuangan mengkritik kebijakan terbaru Gubernur Anies, yaitu menghidupkan
kembali becak. Dioperasikannya becak merupkan salah satu kontrak politik yang
ditandatangani Anies dan Sandi saat kampanye Pilkada DKI 2012. Kontrak politik
tersebut diajukan oleh Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu yang ditandatangani
Anies pada tanggal 2 Oktober 2016.
Meski
direncanakan becak akan dijadikan angkutan lingkungan, menurut Fraksi PDI
Perjuangan hal itu tidak diperlukan. Karena sudah ada transportasi alternatif
lain yang sesuai dengan perkembangan kota modern dan megapolitan. Yaitu, sudah
banyak bajaj berbahan bakar gas (BBG) yang menjadi angkutan lingkungan, lalu
Qute yang menggantikan bemo. Serta dibantu oleh transportasi ojek berbasis
aplikasi.
Sembilan,
mengenai pencabutan HGB Pulau Reklamasi. Gembong mengungkapkan Anies-Sandi
perlu banyak belajar soal pengelolaan pemerintahan agar dapat menghargai
keputusan pemerintah mengenai sertifikat HGB yang telah diterbitkan. Bahwa HGB
itu muncul karena ada rekomendasi dari pemerintah provinsi yakni DKI Jakarta.
Kalaupun ingin mencabut, pihak Anies-Sandi diharapkan turut mengajak duduk DPRD DKI untuk membahas
rekomendasi pencabutan HGB kepada BPN sesuai dengan janjinya ketika paripurna
perdana.
Fraksi PDI
Perjuangan mengingatkan Pemerintah Daerah merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, gubernur
dan wakil gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Maka dalam
menghadirkan kebijakan harus selaras dengan kebijakan pemerintah pusat.
Sepuluh,
program One Kecamatan One Central for Enterpreneurship (OK OCE). Ia menilai
tidak konsisten karena pemberian modal untuk peserta ternyata bukan dana
bergulir, melainkan dana dari bank dengan bunga 13 persen.
Selama masa
kampanye, Sandi berkomitmen memberikan modal khusus bagi para peserta tanpa
jaminan apapun. Namun ia kemudian meralat pernyataannya. Sandi mengatakan kalau
ia dan Anies tidak pernah berjanji memberikan modal. Yang mereka janjikan
adalah kemudahan akses untuk mendapatkan modal dari bank.
Sayangnya,
kemudahan akses mendapatkan modal pun tidak dapat dipenuhi oleh Anies dan
Sandi. Justru, pelaku UMKM diberikan kemudahan mendapatkan modal ke Bank DKI
tetap dengan jaminan sertifikat rumah dan bunga 13 persen.
“Padahal selama
ini, Pemprov DKI memberikan kredit untuk pelaku UMKM dengan konsep bagi hasil,
80 persen untuk pelaku UMKM dan 20 persen untuk Pemprov DKI,” paparnya. ***James Donald
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !