Tokyo, Infobreakingnews - Terhitung sekitar 500.000 warga Jepang
menderita "hikikomori"
akibat tekanan sosial yang begitu hebat di negeri matahari terbit tersebut.
Hikikomori sendiri merupakan sebutan untuk kondisi
kejiwaan di mana seseorang menutup diri di rumah dan menghindari kontak sosial.
Secara teknis, Pemerintah Jepang mengkategorikan hikikomori sebagai
orang yang tidak meninggalkan rumahnya atau berinteraksi dengan orang lain selama
enam bulan.
Hikikomori bisa hadir dalam berbagai bentuk. Salah
satu bentuk adalah kemalasan atau ketiadaan energi untuk meninggalkan sofa,
bahkan untuk pergi ke toilet. Hikikomori juga
bisa hadir dalam bentuk gangguan obsesif kompulsif. Salah satu penderitanya
bercerita kepada NY
Times, bahwa dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mandi
atau bersih-bersi lantai kamar mandi. Ada juga yang tidak pernah keluar rumah
karena main video game sebagai
"terapi bius". Salah satu hikikomori,
Kyoko, bercerita kepada Nippon.com,
bahwa tekanan sosial dari orangtuanya dan dari kehidupan sehari-hari membuatnya
menutup diri dari dunia.
Profesor Jeff Kingston dari Temple University di Tokyo, mengatakan
kepada Business
Insider, bahwa penderita hikikomori umumnya adalah para pria lajang dan
berasal dari keluarga menengah.
"Hikikomori dianggap
gangguan jiwa untuk kelas menengah karena penderitanya masih tinggal bersama
orangtua yang menyokong mereka di rumah," kata Kingston.
Menurut statistik resmi pemerintah, pada tahun 2015 terdapat
541.000 hikikomori berusia
15-39 di Jepang. Jumlah ini bisa lebih besar karena banyak keluarga yang enggan
melaporkan kondisi ini kepada pemerintah. Peneliti di Jepang mulai mengamati
perilaku ini sejak tahun 1980-an.
Penyebab hikikomori bermacam-macam, bisa karena
nilai ujian yang jelek atau karena putus cinta. Secara ekonomi, kondisi ini
menghambat pertumbuhan ekonomi Jepang karena mereka menjadi pengangguran dan
mengurangi angkatan kerja. Ketika keluarga tidak mampu lagi merawat mereka,
maka mereka menjadi tanggungan negara. Apalagi saat ini, Jepang kekurangan
tenaga kerja, di mana lapangan kerja yang tersedia 1,5 kali lebih banyak dari
calon tenaga kerja.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah
Jepang menciptakan pusat konseling dan mengirimkan pekerja sosial ke rumah
untuk berbicara dengan para hikikomori.
Kelompok-kelompok sukarela juga mulai bermunculan.
Kondisi gangguan jiwa menjadi salah satu topik diskusi di World Economic
Forum (WEF) 2018 di Davos, Swiss. ***Nadya
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !