Ilustrasi (Sumber: Bloomberg) |
Oxford, Infobreakingnews - Baru-baru ini, Panel Antar Negara tentang
Perubahan Cuaca (IPCC) merilis sebuah laporan yang menyebut upaya konsistensi
kenaikan suhu 1,5 derajat celcius di atas masa pra industri, menuntut
pengurangan besar-besaran karbon dioksida di atmosfer.
Tanpa tindakan di atas, laporan tersebut
mengatakan, akan muncul risiko tinggi pelanggaran terhadap target ambisius ini
pada 2040 mendatang.
Meskipun begitu, beberapa ilmuwan
mengingatkan bahwa kemajuan teknologi saat ini, tidak benar-benar mampu
mengurangi dampak pemanasan global (global
warming). Mereka juga mengingatkan akan timbulnya dampak kerusakan yang
lebih besar di masa depan, jika dunia internasional mengutamakan penggunaan
teknologi emisi negatif, dibandingkan mengupayakan alternatif lain untuk
mengurangi dampak emisi gas buang.
Dilansir dari laman Independent.co.uk pada
Kamis (1/2/2018), seluruh ilmuwan di dunia telah sepakat tetang pentingnya
pengurangan emisi efek rumah kaca, sebagaimana upaya memenuhi target global
yang disepakati pada Perjanjian Paris.
Fokus utama Perjanjian Paris adalah menjaga temperatur Bumi tetap berada
di bawah dua derajat celcius.
Namun, laporan terbaru menunjukkan sekelompok
ilmuwan Eropa berpendapat bahwa seluruh teknologi yang telah digunakan untuk melawan
pemanasan global, terbukti tidak lebih dari ekspektasi yang 'terlalu optimis'.
"Kita tidak bisa mempercayakan sepenuhnya penanganan isu pemanasan
global pada teknologi," ujar Profesor Michael Norton, direktur pada
Lembaga Penasihat Akademi Sains Eropa.
"Meskipun begitu, teknologi yang kita miliki saat ini masih bisa
dmanfaatkan hingga pertengahan abad ke-21, dan kini kami berpikir untuk
mengembangkan penelitian teknologi emisi negatif," lanjutnya.
Teknologi emisi negatif sendiri merupakan upaya untuk memotong langsung
jumlah karbon dioksida di atmosfer, dan mengumpulnya seketika setelah lepas ke
udara.
Selanjutnya, karbon yang ditangkap dapat dicegah untuk kembali memasuki
atmosfer, yakni salah satu caranya menimbun di dalam tanah.
"Tanah memiliki sistem alami yang unik, di mana mampu mengikat
karbon dioksida dan perlahan mengubahnya menjadi beragam zat kimia, termasuk
beberapa di antaranya bermanfaat untuk kehidupan," jelas Profesor Michael.
Meskipun begitu, Profesor Michael mengaku dirinya tidak begitu optimis bahwa
teknologi emisi negatif dapat sepenuhnya mereduksi jumlah karbon dioksida di
atmosfer. Ia menilai teknologi tersebut tidaklah lebih dari sekadar pendukung
upaya pengurangan pemanasan global.
"Penanaman lebih banyak pohon tetap merupakan cara terbaik untuk
menyerap karbon dioksida berlebh di udara," tukasnya.
“Ada
kekhawatiran bahwa nantinya banyak negara akan ‘bersembunyi’ di balik teknologi
emisi negatif, meluaskan praktik-praktik yang mengancam kelestarian alam, yakni
satu-satunya ‘teknologi’ yang mampu menjaga suhu Bumi tetap rendah,” jelas juru
bicara kelompok ilmuwan Eropa yang menulis laporan ilmiah terkait.
Pendapat serupa turut diungkapkan oleh Profesor Myles Allen, seorang
ilmuwan geosistem dari Universitas Oxford. “Laporan terbaru IPCC
mengindikasikan adanya potensi alternatif yang (terlihat) lebih menguntungkan,
di mana ada kemungkinan kepercayaan diri untuk membuang karbon dioksida dalam
skala besar,” ujarnya prihatin.
Profesor Myles juga menyayangkan bahwa laporan IPCC disusupi oleh muatan
politis, di mana tidak mengadopsi pandangan ilmiah yang berimbang.
“Kecenderungannya adalah jika ada temua yang dianggap bermanfaat,
temuan-temuan ilmiah lain diabaikan, padahal bisa jadi kesinambungan di
antaranya,” tukas Profesor Myles. ***Nadya
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !