Jakarta, Infobreakingnews - Persidangan
perkara kredit macet yang terjadi di Bank Mayapada di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara memasuki agenda pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan Jaksa Penuntun Umum
(JPU). Sebelumnya JPU menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman 3,6 tahun.
Dalam pledoinya, Bhakti meminta majelis
hakim yang diketuai Mulyadi agar membebaskan Hasan Ridwan dan Prabowo
Utomo dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Pasalnya, kedua terdakwa
selaku Direktur PT Mehad Interbuana (MI) dan Komisaris PT MI tidak terbukti
melakukan penipuan, penggelapan dan tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan keterangan para saksi,
bukti-bukti serta fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal
378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan kepadanya dalam
dakwaan kesatu, begitupun dalam dakwaan kedua tentang tindak pidana
sebagaimana tertuang dalam Pasal 372 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Menurut Bhakti, terdakwa juga tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke~1 KUHP yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan ketiga .
Oleh karena itu Bhakti memohon kepada majelis
hakim yang menyidangkan perkara tersebut agar membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan putusan bebas (vrijspraak)
dan tuntutan hukum serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat martabatnya. Kalaupun majelis hakim berkeputusan lain, Bhakti berharap
hakim dapat memberi putusan seadil-adilnya.
Permintaan bebas murni yang diminta
Bhakti Dewanto untuk kliennya Hasan Ridwan tidaklah mengada-ada. Selama
persidangan jaksa gagal membuktikan apa yang didakwakan terhadap kedua
terdakwa, Hasan Ridwan dan Prabowo Utomo. Saksi A de charge dari jaksa tidak menguatkan apa yang didakwakan jaksa.
Apalagi saksi A de charge, semuanya
meringankan atau tidak mendukung sama sekali dakwaan jaksa.
Saksi ahli Jonker Sihombing dan Suhandi
Cahaya bahkan berpendapat nasabah bank kedua terdakwa tidak mungkin bisa
menyebabkan kredit macet jika kreditur memegang teguh prinsip kehati-hatian dan
SOP bank dalam pengucuran kredit.
Jika pada akhirnya kredit yang
dikucurkan ke PT MI itu macet dan merugikan kreditur yang bersangkutan, maka
hal itu terjadi disebabkan kecerobohan kreditur itu sendiri. Tidak saja dalam
pengucuran kredit itu tetapi juga dalam hal penilaian agunan kredit itu
sendiri.
Menurut Bhakti Dewanto dalam pledoinya,
tindak pidana pencucian uang jelas tidak terbukti karena memang kliennya tidak
pernah menyamarkan uang kredit yang diterimanya. Demikian juga tindak pidana
penggelapan, menurutnya, tidak terbukti karena memang tidak ada yang digelapkan
kliennya selaku debitur.
Ikhwal tindak pidana penipuan yang
dinyatakan jaksa terbukti dilakukan kedua terdakwa, kata Bhakti Dewanto,
lebih-lebih tidak terbukti lagi. Alasannya, tidak ada kata-kata membujuk,
merayu yang pada akhirnya memperdaya kreditur dalam hal pengajuan kredit
tersebut. Dua pihak sepakat dengan kredit dimaksud, maka dibuat perjanjian
untuk kemudian dikucurkan kredit.
“Jadi, ketiga pasal yang
dijeratkan jaksa terhadap klien saya tidak terbukti dilanggar. Karenanya, klien
saya harus dibebaskan dan direhabilitir nama baiknya,” ujar Bhakti seraya
menyatakan Hasan Ridwan selaku Direktur PT MI dan Prabowo Utomo sebagai
komisaris PT MI mengajukan kredit ke PT Bank Mayapada sebesar Rp 175 miliar.
“Imbasnya, kredit itu
akhirnya macet. Untuk menutupi kewajiban PT MI atau kedua terdakwa sebagai
debitur di PT Bank Mayapada dan mereka juga bisa melelang agunan kredit
tersebut,” tegasnya.
Sementara menurut saksi
ahli a de charge DR. Jonker Sihombing,SE.,SH.,MH
di dalam persidangan menerangkan yang pada pokoknya memberikan deep knowledge tentang praktek
perbankan.
“Bahwa
hubungan bank dengan debitur adalah hubungan saling menguntungkan. Meskipun
terjadi risiko kredit macet yang dapat disebabkan berbagai faktor, terutama
faktor perubahan ekonomi yang sama sekali sukar untuk diprediksi pada waktu
pencairan kredit maupun proyek berjalan,” ucapnya.
Melihat
fakta-fakta hukum dari persidangan ini, Bhakti melihat bahwa penerapan hukum
pidana dalam perkara ini terialu prematur. Karena seharusnya penerapan aspek
hukum perdatanya yang didahulukan.
“Yakni
pengembalian kerugian bank dengan melakukan prosedur standar yang harus
didahulukan apabila ada kredit macet. Melihat total nilai jaminan proyek dan
tanah yang tingginya bisa melebihi pinjaman semestinya kerugian bisa dikembalikan,”
imbuhnya.
Menurut
Bhakti tanggung jawab seharusnya dibebankan kepada semua yang terlibat dalam
proses pencairan Kredit yang berakhir macet ini. Komisaris dan direktur PT
Mehad lnterbuana bertanggung jawab secara perdata akan tetapi para pejabat Bank
Mayapada dan oknum pemilik bank harus bertanggung jawab secara pidana sesuai dengan
Undang-Undang Perbankan.
“Mayapada
adalah Bank dengan status hukum PT.TBK. Ketika hukum tajam kepada terdakwa
Prabowo Utomo dan terdakwa Hasan Ridwan tapi tumpul kepada oknum pemilik bank
dan para pejabat bank Iainnya maka disitu kita melihat ketidakadilan menjadi nyata,”
ujar Bhakti.
Di akhir pernyataannya,
Bhakti mengungkapkan akan menyerahkan semuanya kepada Yang Mulia Majelis Hakim
untuk menegakkan keadilan dalam perkara ini. ***Dewi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !