Jakarta,
Infobreakingnews – Dalam nota pembelaan atau pleidoi yang disusunnya sendiri, mantan
Ketua DPR Setya Novanto membantah telah mengintervensi proyek pengadaan e-KTP.
"Saya tidak pernah melakukan
intervensi terhadap proses penganggaran ataupun usulan pembiayaan penerapan KTP
berbasis nomor induk kependudukan secara nasional tahun anggaran 2011-2013
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain," tegasnya.
Lebih lanjut Novanto menjelaskan pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang kala itu masih dipimpin oleh
Gamawan Fauzi, merupakan pihak yang paling berperan dalam pembahasan e-KTP,
terutama mengenai pembiayaan. Kemdagri, menurut keterangan Novanto, saat itu
mengusulkan untuk mengubah pendanaan proyek e-KTP dari pinjaman luar negeri
menjadi APBN murni.
"Usulan perubahan tersebut
dilakukan oleh pemerintah melalui Mendagri Gamawan Fauzi dengan mengirimkan
surat ke Menteri Bappenas, perihal usulan pembiayaan NIK dan penerapan KTP
berbasis NIK secara nasional. Untuk perubahan sumber pembiayaan dari pinjaman
luar negeri untuk APBN murni dibutuhkan persetujuan DPR," ungkap Setnov.
Novanto menyebut pada tahun 2010 untuk memuluskan usulan
Kemdagri, Dirjen Dukcapil, Irman bertemu dengan almarhum Burhanuddin Napitupulu
yang saat itu menjabat ketua Komisi II. Melalui pertemuan tersebut, kemudian
disepakati pemberian fee kepada anggota
DPR untuk memuluskan proyek e-KTP dilakukan oleh Andi Agustinus atau Andi
Narogong. Novanto menyatakan, kesepakatan tersebut juga diketahui Diah
Anggraeni selaku sekjen Kemdagri.
"Kesepakatan
Andi Agustinus dengan Komisi II waktu itu, saudara Burhanudin Napitupulu adalah
di luar tggung jawab saya. Kesepakatan itu dilakukan sebelum Andi Agustinus
memperkenalkan saya dengan saudara Irman di Hotel Gran Melia Kuningan. Dengan
demikian kesepakatan perencanaan e-KTP, perubahaan anggaran sampai pemberian fee kepada
Komisi II DPR oleh saudara Irman, Andi Agustinus, dan almarhum Burhanudin,
ternyata sudah direncanakan dan disepakati sebelum saya ditemui Andi Agustinus
bersama saudari Diah Anggraeni, saudara Sugiharto di Gran Melia Kuningan,"
katanya.
Dalam
nota pembelaannya, Novanto juga membantah telah menerima uang sebesar US$ 7,3
juta dari proyek e-KTP secara langsung maupun tidak langsung melalui
keponakannya Irvanto Hendra Pambudi dan pengusaha Made Oka Masagung.
Diketahui,
dalam persidangan Kamis (29/3/2018) lalu jaksa KPK menuntut Novanto dihukum 16
tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Novanto
juga dituntut dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti US$ 7,3
juta dikurangi uang yang dikembalikan sebesar Rp 5 milliar.
Atas dasar tersebut, Novanto menilai pidana tambahan yang
dituntut oleh KPK tidak mendasar karena ia menganggap tuntutan tersebut diberikan
tanpa adanya bukti dan keterangan yang mendukung.
"Pidana tambahan uang pengganti US$ 7,3 jelas tidak
mendasar. Kesimpulan JPU yang menyatakan saya menerima secara tidak langsung
melalui Made Oka dan Irvanto tanpa didukung oleh bukti dan keterangan saksi di
persidangan. Kalaulah saya harus bayar uang pengganti US$ 7,3 juta,
apakah ada seorang saksi yang mengatakan saya menerima dana e-KTP?" ungkap
Novanto dalam pembelaannya. ***Sam Bernas
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !