Jakarta, Info Breaking News - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah 82 poin (0,59 persen) ke Rp 13.975 pada perdagangan hari ini, Senin (23/4) dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Menurut ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, pelemahan rupiah ini diakibatkan oleh arus modal asing keluar dari negara-negara berkembang ke AS. Josua juga mengatakan pelemahan rupiah bersifat hanya sementara.
"Pelaku pasar global akan mencermati data-data ekonomi AS terutama seperti durable goods order, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama, dan konsumsi pribadi sebelum rapat FOMC awal Mei di mana the Fed (Bank Sentral AS) diperkirakan masih akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga. Fed baru akan menaikkan kembali suku bunganya dalam rapat FOMC bulan Juni. Tren pelemahan rupiah ini diperkirakan sementara karena pelaku pasar masih akan mengantisipasi data-data AS tersebut," kata Josua kepada Info Breaking News, Senin, 23 April 2018 di Jakarta.
Menurut Josua, penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dan mata uang negara berkembang termasuk rupiah didorong oleh kenaikan signifikan dari yield US treasury atau obligasi AS yang mendekati level 3 persen pada pekan lalu.
"Kenaikan yield obligasi AS dipengaruhi oleh rilis dari The Fed yang cenderung optimistis terhadap outlook indikator makro AS, secara khusus inflasi yang diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebagai konsekuensi tarif impor dan tren kenaikan harga minyak dunia yang belakangan terjadi," kata dia.
"Sentimen kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif tersebut memberikan tekanan pada pasar keuangan regional di pasar saham dan obligasi yang pada akhirnya memicu keluarnya dana asing dari pasar negara berkembang. Di pasar SUN, investor asing membukukan net sell per tanggal 18 April sebesar Rp 2,7 triliun dalam 3 hari," lanjutnya.
Menurut Josua, beberapa faktor yang mempengaruhi capital flow di negara berkembang antara lain growth rate differential dan interest rate differential antara negara maju dan negara berkembang di samping sentimen global risk aversion.
Josua mengatakan dampak dari volatilitas rupiah yang meningkat ini juga mempengaruhi dunia usaha mengingat beberapa sektor ekonomi domestik masih mengandalkan bahan baku impor. Jika tren harga bahan baku diikuti dengan pelemahan rupiah yang terus berlanjut, maka akan mempengaruhi juga kegiatan produksi perekonomian.
"Jika biaya impor dibebankan ke konsumen akan mendorong inflasi domestik. Oleh sebab itu, korporasi perlu terus didorong untuk melakukan transaksi lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko nilai tukar sehingga pada akhirnya tidak mengganggu aktivitas ekonomi domestik," kata Josua.
Josua mengatakan kenaikan suku bunga di bank sentral global juga turut mempengaruhi investasi, baik investasi portofolio dan investasi langsung, di negara berkembang. Oleh sebab itu, pemerintah perlu meningkatan efektivitas dan produktivitas stimulus fiskal untuk tetap menjaga growth rate differential dijaga di level yang manageable.
Disamping kondisi itu, Josua juga berharap BI juga perlu meningkatkan confidence dari pasar sehingga tidak terjadi kepanikan di pasar keuangan.*** Candra Wibawanti.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !