Headlines News :
Home » » Berlinang Air Mata, Pria Ini Minta MK Batalkan UU MD3

Berlinang Air Mata, Pria Ini Minta MK Batalkan UU MD3

Written By Infobreakingnews on Kamis, 03 Mei 2018 | 17.50


Jakarta, Infobreakingnews - Hadir dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/5/2018), sambil terisak-isak seorang pria meminta hakim konstitusi membatalkan beberapa pasal pada Undang-Undang MD3.

Ia adalah Frederik Radjawane, orang tua dari Fredy Pattirajawane korban tewas akibat ditabrak mobil salah seorang anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah Jimy G Sitanala.
Sang putra ditemukan dalam kondisi mengenaskan di lokasi kejadian pada 25 Maret 2018 yang lalu.

"Saya minta kepada  Bapak Hakim agar  undang-undang ini kalau bisa direvisi atau dihentikan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan atau peri keadilan," ujar Frederik dengan berlinang air mata.

Ia menilai keberadaan UU MD3 tidak memberikan keadilan bagi masyarakat. Ia juga merasa dirinya menjadi korban langsung dari UU tersebut.

Sebelumnya, Frederik telah mengurus kasus kematian anaknya di Polres Kota Ambon. Meski yang bersangkutan sudah diperiksa, ia tidak segera ditahan karena minus izin dari Gubernur akibat adanya UU MD3.

“Polisi memang hari itu memeriksa yang bersangkutan. Tapi tidak ditahan. Pak Polisi bilang bahwa belum ada izin dari Gubernur, karena ada UU MD3,” ungkapnya.

“Saya kemudian minta penjelasan, apa itu UU MD3? Saya ini masyarakat awam, tidak mengerti apa itu UU MD3,” tambah Frederik.

Lebih lanjut polisi menjelaskan bahwa dikarenakan ada pasal tertentu yang tercantum dalam UU kontroversial tersebut yang mencegah pihak kepolisian untuk menindaklanjuti perkara tersebut, termasuk di dalamnya perihal menahan sang pelaku penabrakan yang menyebabkan orang meninggal dunia.

Frederik pun diminta untuk menunggu selama tiga hari. Namun, izin Gubernur baru keluar 15 hari setelahnya dan pelaku pun akhirnya ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian.
Selain merasa dirugikan, Frederik juga menilai UU MD3 membuat masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum.

“Jadi ada rentang waktu panjang dari 25 Maret itu sampai 25 April, saya merasa kesal pelaku tidak langsung ditahan. Saya mohon kejadian ini berakhir kepada saya. Jangan lagi berlaku kepada masyarakat lain,” tegas Frederik.

Frederik sendiri merupakan salah satu dari empat orang yang dihadirkan pemohon uji materi UU MD3 yang memberikan keterangannya di MK.

Uji materi ini diketahui diajukan sejumlah pihak, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta tiga individu secara perseorangan.

Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 karena dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) sendiri menyatakan bahwa DPR berhak memanggil paksa melalui kepolisian, bila pejabat, badan hukum, atau warga negara tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.

Pasal 73 ayat (5) menyebutkan, dalam pemanggilan paksa, Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.

Pasal 122 huruf k dianggap telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pasal tersebut memuat ketentuan legislator akan mengambil langkah hukum bagi siapa pun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggotanya.

Sementara itu, Pasal 245 ayat (1) memuat setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas. Ini dianggap mengancam kepastian hukum yang adil dan menciptakan diskriminasi di hadapan hukum. ***Jerry Art

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved