Pages

Rabu, 14 Agustus 2019

Puluhan Produk Hukum di Jabar dan DIY Diskriminatif dan Intoleran



Jakarta, Info Breaking News – Puluhan produk hukum di provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berpotensi diskriminatif dan intoleran.

Hal tersebut terungkap melalui sebuah penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute dari September 2018 hingga Februari 2019. Menurut penelitian itu, puluhan produk hukum tersebut berdampak langsung maupun tidak langsung mendorong diskriminasi terhadap kelompok minoritas untuk mengakses pelayanan publik.
"Di Yogyakarta ada 24 produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif terhadap kelompok minoritas termasuk juga etnik Tionghoa, sedangkan di Jawa Barat ada 91 produk hukum daerah yang juga berpotensi diskriminatif," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani di sela-sela seminar 'Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran dan Antidiskriminatif di Indonesia yang digelar Setara Institute di Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Ismail Hasani menyebut penelitian ini merupakan pelengkap dari kajian yang pernah dilakukan sebelumnya. Komnas Perempuan misalnya, pada 2016 mengidentifikasi 421 kebijakan daerah diskriminatif dan Setara Institute di tahun 2017 silam mengidentifikasi 71 produk hukun daerah yang intoleran dab mengakselerasi praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan.
Menurut Ismail, produk-produk hukum daerah yang jenisnya beragam mulai dari perda hingga peraturan gubernur dan instruksi gubernur yang diskriminatif dan intoleran ini mulai terjadi beriringan dengan munculnya paket kebijakan otonomi daerah. Namun, Ismail menekankan, produk-produk hukum diskriminatif tersebut menyalahi aturan kebijakan otonomi daerah dan justru digunakan untjk melegitimasi serangkaian prilaku intoleran, mulai dari stigma sosial, main hakim sendiri hingha kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas.
"Jadi produk-produk daerah ini sebenarnya muncul ketika paket kebijakan otonomi daerah muncul, tetapi ada yang offside di mana produk hukum daerah kemudian selain menjadi alat politisasi identitas juga menjadi instrumen diskriminasi intoleransi bahkan melakukan kekerasan,” ujarnya.
Sebagai contoh, Ismail menyebut di Yogyakarta produk hukum yang diskriminatif berkaitan dengan adanya pembatasan kepemilikan tanah oleh etnis Tionghoa dan hak peradilan yang adil bagi pelajar Papua. Sementara di Jawa Barat, hal itu berkaitan dengan kebebasan beragama bagi Ahmadiyah.
"Di Jabar misalnya, perda khusus terkait Ahmadiyah ini betul-betul kemudian mendorong atau mengakselerasi praktik intoleransi terhadap Ahmadiyah terlepas dari kontroversi Ahmadiyah. Misalnya, bahwa mereka adalah saudara sebangsa tentu saja kita semua sebagai orang yang memiliki kepedulian sama terhadap konstitusi tidak bisa tinggal diam," jelasnya.
Mengingat hal ini, Ismail secara tegas menyatakan bahwa keberadaan produk-produk hukum daerah yang melenceng dan bermasalah ini dapat menjadi bom waktu yang menyebabkan terjadinya konflik sosial antaretnik, agama dan ikatan sosio-kultural lainnya. Untuk itu, Setara Institute mendesak pemerintah daerah untuk segera merevisi atau bahkan mencabut produk hukum daerah untuk mengembalikan hak masyarakat.
Tak hanya itu, Setara juga mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) membuat respitory produk hukum daerah yang menyatu dan terpusat.
Kepada Presiden Joko Widodo, Setara meminta agar beliau segera membentuk Pusat Legislasi Nasional seperti yang dijanjikannya beberapa waktu lalu. Ismail mengatakan, Pusat Legislasi Nasional ini seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menata regulasi daerah di bidang ekonomi, melainkan juga regulasi daerah yang diskriminatif.
Menurutnya, terdapat dua hal penting dengan adanya Pusat Legislasi Nasional, yakni merespons produk hukum daerah diskriminatif yang existing sekaligus mendesain sekaligus menjalankan peran pengawasan terintegrasi dan berkelanjutan atas regulasi daerah dan produk hukum lainnya.

"Untuk membentuk badan ini, Presiden cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di kementerian dan pemerintah provinsi sebagai tugas pokok Badan baru," papar Ismail Hasan
i. ** Emil F Simatupang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar