Jakarta, Info Breaking News –
Puluhan produk hukum di provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) berpotensi diskriminatif dan intoleran.
Hal tersebut terungkap melalui
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute dari September 2018
hingga Februari 2019. Menurut penelitian itu, puluhan produk hukum tersebut
berdampak langsung maupun
tidak langsung mendorong diskriminasi terhadap kelompok minoritas untuk
mengakses pelayanan publik.
"Di Yogyakarta ada 24 produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif terhadap kelompok minoritas termasuk juga etnik Tionghoa, sedangkan di Jawa Barat ada 91 produk hukum daerah yang juga berpotensi diskriminatif," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani di sela-sela seminar 'Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran dan Antidiskriminatif di Indonesia yang digelar Setara Institute di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
"Di Yogyakarta ada 24 produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif terhadap kelompok minoritas termasuk juga etnik Tionghoa, sedangkan di Jawa Barat ada 91 produk hukum daerah yang juga berpotensi diskriminatif," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani di sela-sela seminar 'Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran dan Antidiskriminatif di Indonesia yang digelar Setara Institute di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Ismail Hasani menyebut penelitian ini merupakan pelengkap dari kajian yang pernah dilakukan sebelumnya. Komnas Perempuan misalnya, pada 2016 mengidentifikasi 421 kebijakan daerah diskriminatif dan Setara Institute di tahun 2017 silam mengidentifikasi 71 produk hukun daerah yang intoleran dab mengakselerasi praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan.
Menurut
Ismail, produk-produk hukum daerah yang jenisnya beragam mulai dari perda hingga
peraturan gubernur dan instruksi gubernur yang diskriminatif dan intoleran ini
mulai terjadi beriringan dengan munculnya paket kebijakan otonomi daerah.
Namun, Ismail menekankan, produk-produk hukum diskriminatif tersebut menyalahi
aturan kebijakan otonomi daerah dan justru digunakan untjk melegitimasi
serangkaian prilaku intoleran, mulai dari stigma sosial, main hakim sendiri
hingha kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas.
"Jadi produk-produk daerah ini sebenarnya muncul
ketika paket kebijakan otonomi daerah muncul, tetapi ada yang offside di mana
produk hukum daerah kemudian selain menjadi alat politisasi identitas juga
menjadi instrumen diskriminasi intoleransi bahkan melakukan kekerasan,”
ujarnya.
Sebagai
contoh, Ismail menyebut di Yogyakarta produk hukum yang diskriminatif berkaitan
dengan adanya pembatasan kepemilikan tanah oleh etnis Tionghoa dan hak
peradilan yang adil bagi pelajar Papua. Sementara di Jawa Barat, hal itu
berkaitan dengan kebebasan beragama bagi Ahmadiyah.
"Di Jabar misalnya, perda khusus terkait Ahmadiyah
ini betul-betul kemudian mendorong atau mengakselerasi praktik intoleransi terhadap
Ahmadiyah terlepas dari kontroversi Ahmadiyah. Misalnya, bahwa mereka adalah
saudara sebangsa tentu saja kita semua sebagai orang yang memiliki kepedulian
sama terhadap konstitusi tidak bisa tinggal diam," jelasnya.
Mengingat
hal ini, Ismail secara tegas menyatakan bahwa keberadaan produk-produk hukum daerah
yang melenceng dan bermasalah ini dapat menjadi bom waktu yang menyebabkan
terjadinya konflik sosial antaretnik, agama dan ikatan sosio-kultural lainnya.
Untuk itu, Setara Institute mendesak pemerintah daerah untuk segera merevisi
atau bahkan mencabut produk hukum daerah untuk mengembalikan hak masyarakat.
Tak hanya itu, Setara juga mendorong Kementerian Dalam
Negeri (Kemdagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) membuat respitory produk
hukum daerah yang menyatu dan terpusat.
Kepada
Presiden Joko Widodo, Setara meminta agar beliau segera membentuk Pusat
Legislasi Nasional seperti yang dijanjikannya beberapa waktu lalu. Ismail
mengatakan, Pusat Legislasi Nasional ini seharusnya tidak hanya bertujuan untuk
menata regulasi daerah di bidang ekonomi, melainkan juga regulasi daerah yang
diskriminatif.
Menurutnya, terdapat dua hal penting dengan adanya Pusat
Legislasi Nasional, yakni merespons produk hukum daerah diskriminatif yang existing sekaligus
mendesain sekaligus menjalankan peran pengawasan terintegrasi dan berkelanjutan
atas regulasi daerah dan produk hukum lainnya.
"Untuk membentuk badan ini, Presiden cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di kementerian dan pemerintah provinsi sebagai tugas pokok Badan baru," papar Ismail Hasani. ** Emil F Simatupang.
"Untuk membentuk badan ini, Presiden cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di kementerian dan pemerintah provinsi sebagai tugas pokok Badan baru," papar Ismail Hasani. ** Emil F Simatupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar