Jakarta, Info Breaking News – Dirjen Penegakan Hukum
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani menjelaskan bahwa
terdapat 14 perusahaan yang berafiliasi dengan pihak asing dan menjadi momok
kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pihak asing yang terlibat termasuk di dalamnya adalah dua
negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
Rasio menyebut pihak berwenang akan segera melakukan tes
tanah guna mengidentifikasi perubahan perkebunan yang diduga menggunakan teknik
tebang dan bakar untuk membersihkan lahannya.
Rencananya, tes akan dilakukan terhadap perusahaan dengan konsesi
atau izin penebangan yang telah dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan sejak bulan lalu hingga bulan ini. Rasio menambahkan terdapat 51
perusahaan yang izinnya sudah dicabut, dimana 14 di antaranya berafiliasi
dengan pihak asing.
"Tanaman
mereka mungkin ada di lahan yang telah mereka bersihkan dengan cara dibakar,
katakanlah satu atau lima tahun lalu. Jejak itu masih ada di sana. Kami
telah berbicara dengan penasihat hukum dan para ahli tentang rencana kami untuk
melakukan hal ini,” tuturnya.
Sebelumnya,
pemerintah sudah lebih dahulu menunjuk satu perusahaan yang diketahui
berafiliasi dengan Singapura, yakni Hutan Ketapang Industri yang berbasis di
Kalimantan Barat.
Sejumlah
perusahaan lain yang juga berafiliasi dengan kelompok asing adalah Sime Indo
Agro yang merupakan unit dari Sime Darby Plantation; Sukses Karya Sawit, unit
dari IOI Corporation; dan Rafi Kamajaya Abadi, unit dari perusahaan TDM.
Ketiganya berbasis di Kalimantan Barat dan berafiliasi dengan Malaysia
Ada pula
perusahaan yang beroperasi di Riau, yaitu Adei Plantation and Industry yang
merupakan unit dari Kuala Lumpur Kepong Group.
Tak hanya itu, terdapat pula dua perusahaan lain yang juga diketahui berafiliasi dengan Malaysia, yakni Sawit Mitra Abadi, unit dari Genting Plantations; dan Tabung Haji Indo Plantation, yang adalah unit perusahaan Malaysia, Tabung Haji.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSDA) Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Yudi Anantasena menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih membakar hutan dan lahan dibandingkan harus menyewa buldoser dengan alasan ingin menghemat biaya.
"(Padahal)
biaya seperti itu tidak sebanding dengan nilai ekonomi dan gangguan kesehatan
yang diderita korban kabut asap, maupun biaya yang ditanggung pemerintah untuk
memadamkan api," katanya.
Sementara
itu, Rasio melanjutkan, kementerian disebut memiliki tiga opsi yang bisa
diambil jika perusahaan-perusahaan tersebut terbukti bersalah. Yang pertama
ialah sanksi administratif, yang berarti denda dan pencabutan izin usaha.
Selanjutnya mengajukan gugatan perdata dan menuntut kompensasi dan opsi
terakhir ialah mengejar kasus pidana untuk mengirim manajemen perusahaan ke
penjara.
Menurut
Rasio, sanksi administratif merupakan opsi tercepat karena tanpa harus menunggu
putusan pengadilan.
“Jika mengajukan gugatan ke pengadilan, baik perdata maupun pidana, akan
memakan waktu yang lebih panjang," pungkasnya. ***Juenda
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !