![]() |
Advokat Magdir Ismail Saat Menyampaikan Sejumlah Bukti Baru Dipersidangan PK Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/9/2019). |
Melalui surat keterangan
resmi, Panca menyoroti tiga hal penting terkait dengan perkara PK yang diajukan
Setnov.
Pertama, Panca menilai bahwa
Setya Novanto tidak menyalahgunakan wewenangnya karena ia memang tak memiliki
wewenang dalam menentukan tahapan terkait proyek e-KTP.
Berdasarkan pertimbangan hukum
Judex Facti, terdapat suatu kekhilafan nyata atau kekeliruan terkait dengan
makna dan konsekuensi hukum atas penyalahgunaan wewenang Setnov selaku pemohon
PK dalam kedudukannya sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR RI.
“Fraksi bukan alat kelengkapan
dewan, maka UU MD3 tidak menentukan ataupun menggariskan wewenang fraksi baik
secara atributif maupun secara delegatif. Dengan kata lain, fraksi di DPR tak
memiliki wewenang apapun,” jelasnya.
Atas dasar itu, pernyataan
yang menyebut bahwa Setnov telah menyalahgunakan wewenangnya adalah pernyataan
yang tak beralasan atau tak berdasar atas hukum.
“Pemohon PK (Setya Novanto)
sejatinya tidak memiliki wewenang apapun dalam kedudukan sebagai Ketua Fraksi
Partai Golkar di DPR. Logika hukumnya, bagaimana mungkin terjadi penyalahgunaan
wewenang terhadap orang yang tidak memiliki wewenang?” tuturnya.
Selanjutnya, Panca juga
berpendapat bahwa terkait dengan perkara Setya Novanto, terdapat suatu unsur
kesalahan terlebih terkait dengan pasal pertimbangan hukum Judex Facti yang
secara jelas menampilkan suatu kekeliruan yang nyata terkait dengan penerapan
pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil.
“Pertimbangan Judex Facti
tersebut adalah pertimbangan yang tidak berdasar pada hukum dan secara tegas bertentangan
dengan hukum itu sendiri,” katanya.
Panca menjelaskan jika dilihat
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari
2017, secara tegas dinyatakan frasa kata “dapat” dalam rumusan Pasal 2 dan
Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi, sehingga “tidak mengikatnya”
kata “dapat” menjadikan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menjadi delik materiil.
Jika menilik isi Putusan
Mahkamah Konstitusi halaman 114 yang berbunyi “bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi
actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan
bersesuaian dengan updaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional
dan internasional.. Konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi
kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat
dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara
yang benar-benar nyata dan aktual” maka terbukti secara nyata dan pasti
bahwa pandangan dan pendapat Judex Facti mengenai kerugian keuangan negara
bertentangan dengan hukum.
Hal itu disebabkan karena “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” merupakan delik materiil bukan delik
formil sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Judex Facti.
Terakhir, Panca membahas
mengenai pertimbangan hukum Judex Facti dimana menurutnya terdapat kekeliruan
terkait dengan pasal yang terbukti.
Sebelumnya, pengadilan secara
tegas menyatakan uang yang yang diterima oleh Setya Novanto selaku pemohon PK
dari Anang Sugiana Sudihardjo dan Johannes Marliem melalui Made Oka Masagung
dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo adalah sebagai fee.
Jika benar demikian, maka
pertimbangan Judex Facti yang menyatakan bahwa Setnov telah menyalahgunakan
kewenangannya karena menerima uang USD 3.800.000 dari Made Oka Masagung dan USD
3.500.000 dari Irvanto tersebut adalah salah total.
“Jika penerimaan tersebut
dianggap sebagai perbuatan pidana, maka perbuatan itu bukan perbuatan
menyalahgunakan wewenang sebagaimana dinyatakan dalam putusan halaman 1687,
akan tetapi hal itu adalah perbuatan menerima hadiah atau janji,” katanya.
“Karena sebagaimana
dinyatakan dalan pertimbangan bahwa pemberian fee tersebut telah direncanakan
terlebih dahulu oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anang Sugiana
Sudihardjo, Paulus Tannos dan Johanes Marliem.” Pungkasnya.
Selain pada persidangan Selasa, 24 September 2019 dimana dihadirkan ahli pakar hukum pidana,Prof. Dr. Hairul Huda, menyebutkan bahwa penggunaan pasal 3 UU Tipikor yang dikenakan pada Setnov samgat keliru dan fatal, karena jika dilihat kerangka hukumnya, mustinya jaksa pada KPK juga mencatumkan Pasal suap atau gearivikasi yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh pasal 3 tersebut.
Begitu juga prihal bukti baru (novum) yang dinilai selama persidangan pertama tidak pernah disinggung terkait bennevite owner tersebut.
"Dengan bukti sejumlah bukti baru itu dan pendapat ahli yang tadi disampaikan, maka kami sangat yakin kelak majelis hakim Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung, akan memberikan keadilan yang selama ini menjadi harapan klien kami" ungkap advokat senior Magdir Ismail kepada sejumlah media, sesaat usai persdidangan.*** Emil Simatupang.
Selain pada persidangan Selasa, 24 September 2019 dimana dihadirkan ahli pakar hukum pidana,Prof. Dr. Hairul Huda, menyebutkan bahwa penggunaan pasal 3 UU Tipikor yang dikenakan pada Setnov samgat keliru dan fatal, karena jika dilihat kerangka hukumnya, mustinya jaksa pada KPK juga mencatumkan Pasal suap atau gearivikasi yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh pasal 3 tersebut.
Begitu juga prihal bukti baru (novum) yang dinilai selama persidangan pertama tidak pernah disinggung terkait bennevite owner tersebut.
"Dengan bukti sejumlah bukti baru itu dan pendapat ahli yang tadi disampaikan, maka kami sangat yakin kelak majelis hakim Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung, akan memberikan keadilan yang selama ini menjadi harapan klien kami" ungkap advokat senior Magdir Ismail kepada sejumlah media, sesaat usai persdidangan.*** Emil Simatupang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !