Headlines News :
Home » » Terungkap di Persidangan PK Setnov, Fatalnya Pasal Yang Dituduhkan Jaksa KPK

Terungkap di Persidangan PK Setnov, Fatalnya Pasal Yang Dituduhkan Jaksa KPK

Written By Info Breaking News on Selasa, 24 September 2019 | 19.20

Advokat Magdir Ismail Saat Menyampaikan Sejumlah Bukti Baru Dipersidangan PK Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Jakarta, Info Breaking News – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. I Gede Panca Astawa menyuarakan pendapatnya terkait pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto.

Melalui surat keterangan resmi, Panca menyoroti tiga hal penting terkait dengan perkara PK yang diajukan Setnov.

Pertama, Panca menilai bahwa Setya Novanto tidak menyalahgunakan wewenangnya karena ia memang tak memiliki wewenang dalam menentukan tahapan terkait proyek e-KTP.

Berdasarkan pertimbangan hukum Judex Facti, terdapat suatu kekhilafan nyata atau kekeliruan terkait dengan makna dan konsekuensi hukum atas penyalahgunaan wewenang Setnov selaku pemohon PK dalam kedudukannya sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR RI.

“Fraksi bukan alat kelengkapan dewan, maka UU MD3 tidak menentukan ataupun menggariskan wewenang fraksi baik secara atributif maupun secara delegatif. Dengan kata lain, fraksi di DPR tak memiliki wewenang apapun,” jelasnya.

Atas dasar itu, pernyataan yang menyebut bahwa Setnov telah menyalahgunakan wewenangnya adalah pernyataan yang tak beralasan atau tak berdasar atas hukum.

“Pemohon PK (Setya Novanto) sejatinya tidak memiliki wewenang apapun dalam kedudukan sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Logika hukumnya, bagaimana mungkin terjadi penyalahgunaan wewenang terhadap orang yang tidak memiliki wewenang?” tuturnya.

Selanjutnya, Panca juga berpendapat bahwa terkait dengan perkara Setya Novanto, terdapat suatu unsur kesalahan terlebih terkait dengan pasal pertimbangan hukum Judex Facti yang secara jelas menampilkan suatu kekeliruan yang nyata terkait dengan penerapan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil.

“Pertimbangan Judex Facti tersebut adalah pertimbangan yang tidak berdasar pada hukum dan secara tegas bertentangan dengan hukum itu sendiri,” katanya.

Panca menjelaskan jika dilihat menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017, secara tegas dinyatakan frasa kata “dapat” dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi, sehingga “tidak mengikatnya” kata “dapat” menjadikan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menjadi delik materiil.

Jika menilik isi Putusan Mahkamah Konstitusi halaman 114 yang berbunyi “bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan updaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional.. Konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata dan aktual” maka terbukti secara nyata dan pasti bahwa pandangan dan pendapat Judex Facti mengenai kerugian keuangan negara bertentangan dengan hukum.

Hal itu disebabkan karena “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” merupakan delik materiil bukan delik formil sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Judex Facti.

Terakhir, Panca membahas mengenai pertimbangan hukum Judex Facti dimana menurutnya terdapat kekeliruan terkait dengan pasal yang terbukti.

Sebelumnya, pengadilan secara tegas menyatakan uang yang yang diterima oleh Setya Novanto selaku pemohon PK dari Anang Sugiana Sudihardjo dan Johannes Marliem melalui Made Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo adalah sebagai fee.

Jika benar demikian, maka pertimbangan Judex Facti yang menyatakan bahwa Setnov telah menyalahgunakan kewenangannya karena menerima uang USD 3.800.000 dari Made Oka Masagung dan USD 3.500.000 dari Irvanto tersebut adalah salah total.

“Jika penerimaan tersebut dianggap sebagai perbuatan pidana, maka perbuatan itu bukan perbuatan menyalahgunakan wewenang sebagaimana dinyatakan dalam putusan halaman 1687, akan tetapi hal itu adalah perbuatan menerima hadiah atau janji,” katanya.

“Karena sebagaimana dinyatakan dalan pertimbangan bahwa pemberian fee tersebut telah direncanakan terlebih dahulu oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anang Sugiana Sudihardjo, Paulus Tannos dan Johanes Marliem.” Pungkasnya.

Selain pada persidangan Selasa, 24 September 2019 dimana dihadirkan ahli pakar hukum pidana,Prof. Dr. Hairul Huda, menyebutkan bahwa penggunaan pasal 3 UU Tipikor yang dikenakan pada Setnov samgat keliru dan fatal, karena jika dilihat kerangka hukumnya, mustinya jaksa pada KPK juga mencatumkan Pasal suap atau gearivikasi yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh pasal 3 tersebut.

Begitu juga prihal bukti baru (novum) yang dinilai selama persidangan pertama tidak pernah disinggung terkait bennevite owner tersebut. 

"Dengan bukti sejumlah bukti baru itu dan pendapat ahli yang tadi disampaikan, maka kami sangat yakin kelak majelis hakim Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung, akan memberikan keadilan yang selama ini menjadi harapan klien kami" ungkap advokat senior Magdir Ismail kepada sejumlah media, sesaat usai persdidangan.*** Emil Simatupang.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved