![]() |
Pakar Hukum Tata Negara UKSW, Dr. Umbu Rauta, SH. M.Hum |
Jakarta, Info Breaking News - Sejumlah
pihak makin gencar mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu (Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang) sebagai langkah terakhir
menyelamatkan KPK. Namun tak sedikit pula tokoh-tokoh yang menyatakan penolakan
jika Presiden menerbitkan Perppu. Bahkan tokoh-tokoh tersebut adalah orang yang
sangat dekat dengan Jokowi.
Sebut
saja, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan kurang setuju jika Jokowi
menerbitkan Perppu sebagai langkah mengatasi polemik RUU KPK yang sudah
terlanjur disahkan oleh DPR. Menurutnya ada jalan lain yang masih bisa ditempuh
oleh Presiden, salah satunya melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ya kan ada jalan yang konstitusional yaitu judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi). Itu jalan yang terbaik karena itu lebih tepat. Kalau Perppu itu masih banyak pro-kontranya,” kata JK. Alasan lain yang dikemukakan JK, mengeluarkan Perppu sama halnya dengan menjatuhkan kewibawaan Pemerintah yang sebelumnya baru saja menyetujui DPR melakukan revisi.
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh juga tidak sepakat jika Jokowi menerbitkan Perppu. Paloh menilai, jika Jokowi mengeluarkan Perppu KPK, bisa-bisa ada pemakzulan dan rentan dipolitisasi.
"Saya kira masalahnya sudah di MK kenapa kita harus keluarkan Perppu. Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya. Salah lho. Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara,” tutur Surya Paloh.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Dr. Umbu Rauta, SH. M.Hum., tidak sependapat dengan pernyataan Surya Paloh tersebut. Menurutnya, penerbitan Perppu adalah tindakan konstitusional Presiden sesuai Pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Sehingga bukan merupakan alasan untuk mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ke sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
“Pasca
amandemen UUD 1945, proses impeachment tidak hanya melewati jalur politik yaitu
DPR dan MPR, tetapi juga jalur peradilan yaitu MK. Proses tersebut cukup
panjang dan berat, karena konsekuensi dianutnya sistem presidensil,” papar
Umbu.
Lebih
lanjut Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini mengatakan,
jika ada pihak-pihak yang tidak setuju terhadap sikap Presiden dalam
menerbitkan Perppu, terdapat dua alternatif.
“Pertama,
legislative review oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD
1945, dengan menolak memberi persetujuan, yang berimplikasi berupa pencabutan
Perppu. Atau Kedua, judicial review ke MK, sebagaimana pernah dipraktikan
beberapa waktu yang lalu dan diuji oleh MK, meski secara normatif, pengujian ke
MK hanya berupa undang-undang,” pungkasnya. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !