Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik UKSW, RES Fobia, SH., MIDS |
Salatiga, Info Breaking News - Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo
mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan penambahan jabatan baru untuk anggota
TNI-Polri yang menganggur alias 'belum punya meja'.
Ia mengatakan, 173 perwira
tinggi TNI tidak memiliki pekerjaan. Menurut Tjahjo, angka tersebut hanya
berasal dari satu matra TNI saja. Hal serupa juga terjadi dalam kepolisian.
Menurut dia, jabatan Komisaris Besar (Kombes) di kepolisian sangat menumpuk.
Sehubungan
dengan langkah tersebut, pengamat hukum dan kebijakan publik Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, RES Fobia SH., MIDS. mengatakan alokasi
orang dan pangkat ke dalam jabatan harus memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan
hidup masyarakat, serta memperkuat daya saing dan kewibawaan NKRI. Ini berlaku
untuk ranah kerja dan pertanggungjawaban publik dalam institusi seperti TNI,
POLRI dan ASN secara umum.
“Pada
TNI misalnya, terutama menyangkut Sistem Pertahanan Negara dan Jati Diri TNI. TNI
adalah kekuatan utama atau komponen utama dalam Sistem Pertahanan Negara. Hal
penting berikutnya ialah tentang Jati Diri TNI yaitu sebagai Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan Tentara Profesional,” ungkap RES Fobia.
Lebih
lanjut dirinya menerangkan, dalam Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 37 Tahun 2019
tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia, disebutkan bahwa Jabatan
Fungsional Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut Jabatan
Fungsional TNI adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang,
dan hak seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam suatu satuan
organisasi Tentara Nasional Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya mensyaratkan
penguasaan pengetahuan, keahlian, dan/atau keterampilan bidang tertentu.
Selanjutnya
Pasal 5 ayat (1) dari Perpres itu menyebutkan bahwa: Ketentuan lebih lanjut
mengenai rumpun jabatan, penetapan jenis Jabatan Fungsional TNI dan Formasi Pejabat
Fungsional TNI diatur dengan Peraturan Panglima setelah mendapatkan persetujuan
tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendayagunaan aparatur negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan.
“Sering
kita mendengar bahwa TNI mengurus pertahanan, POLRI mengurus keamanan dan ASN
mengurus pemerintahan sipil. Pendekatan kategorial ini tidak sepenuhnya benar,
karena konsekuensi dari konstitusionalitas dan identitas kita sebagai NKRI yang
berciri negara kepulauan. Kalaupun pemahaman kategorial tersebut penting secara
operasional, maka framing seperti ini harus lebih dimaknai sebagai zonasi kerja
dan tanggungjawab terfokus. Tata kelola keindonesiaan kita membutuhkan
kerjasama efektif secara lintas institusi. Tantangan utama kita adalah
koordinasi,” terang pengajar di Fakultas Hukum UKSW ini.
Menurutnya,
hal ini berkaitan dengan stabilitas, tetapi secara ideal stabilitas ini tidak
hanya mengenai keadaan bebas goncangan atau setidaknya minim ketegangan, tetapi
terutama keterarahan dan keterpaduan gerakan bersama yang dinamis. Dengan kata
lain, bergerak maju secara strategis, koordinatif, efektif dan
bertanggungjawab.
“Para
perwira itu tak hanya butuh meja tapi terutama peran strategis dan operasional
dalam jejaring terkoordinasi yang jelas dan tegas mendukung tujuan nasional
Indonesia. Pembiaran yang terlalu lama bisa berakibat mengerasnya pusaran arus
risiko dalam konteks tata kelola organisasi, berpotensi mencoreng wibawa
institusi karena keahlian dan ketrampilan tidak tersalur secara fungsional, terkoordinasi
dan berdaya guna. Hal ini tak terkecuali pada pasukan elit dan khusus pada
lingkungan TNI dan POLRI seperti Kopassus, Kopaskhas, Marinir dan Brimob,”
pungkas RES Fobia. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !