Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW, Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum |
Jakarta, Info Breaking News - KPU
telah menyerahkan draf Peraturan KPU (PKPU) untuk Pilkada 2020 kepada Komisi II
DPR. Dalam draft itu, KPU memasukkan larangan mantan napi korupsi, bandar
narkoba dan pelaku kekerasan seksual anak mengikuti kontestasi Pilkada.
Aturan
serupa pernah dibuat KPU pada pemilihan legislatif (Pileg) 2019, namun
dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Agar hal tersebut tidak terulang, Ketua Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman berharap UU Pilkada direvisi untuk mengatur
pelarangan mantan napi kasus korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kekerasan
seksual anak maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Kami
tentu berharap ada revisi terhadap undang-undang Pilkada. Karena kan semua
pihak kalau saya lihat komentarnya, sepanjang ini diatur di dalam undang-undang
maka kita bisa terima," ujar Arief.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo mengatakan bukan soal sulit atau mudah mengakomodasi keinginan KPU. “Tidak ada lagi waktu untuk merevisi itu. Kita sudah memasuki tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Kalau mengganggu tahapan berarti menggagalkan pilkada dong,”katanya.
Sementara
itu, Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi (PSHTK) Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum. menerangkan bahwa
kaidah yang sifatnya membebani kewajiban dan membatasi hak warga negara
seyogyanya diatur pada tataran legislasi yaitu UU, bukan pada tataran regulasi
berupa PKPU. “Pelarangan napi tindak pidana korupsi dan narkoba untuk
mencalonkan diri sebagai kepala daerah seharusnya tidak diatur pada tataran
PKPU, namun pada tataran UU Pilkada. Sehingga UU Nomor 10 tahun 2016 mendesak
diubah sebelum penyelenggaraan Pilkada 2020,” paparnya.
Lebih
lanjut Umbu menegaskan bahwa hal serupa sudah pernah diuji ke MA yakni PKPU
Nomor 20 tahun 2018, sehingga putusan tersebut seharusnya menjadi pelajaran
berharga. Selain itu, menurut Umbu Rauta, kedudukan dan peran Bawaslu dalam UU
Pilkada perlu diubah.
“Dalam UU Pilkada, Bawaslu masih disebut Panwas dan
bersifat Ad-hoc, sementara dalam UU Pemilu 2017, Bawaslu bersifat tetap. Selain
itu, tugas dan wewenang Bawaslu dalam UU Pemilu sudah sampai pada tindakan
adjudikasi dan non adjudikasi yang putusannya final dan binding, kecuali
beberapa hal terkait penetapan DCT, penetapan paslon kepala daerah dan
penetapan paslon presiden dan wakil presiden” tutur dosen FH UKSW ini. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !