Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik UKSW, RES Fobia, SH., MIDS. |
Jakarta, Info Breaking News - Presiden Jokowi mewacanakan
untuk pemangkasan atau penyederhanaan pejabat eselon di lingkungan kementerian
dan lembaga. Hal ini disampaikan saat Presiden menghadiri sidang paripurna MPR
di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Selatan (20/10/2019).
Pada saat berpidato, Jokowi
menyampaikan beberapa program prioritas pemerintah selama lima tahun ke depan.
Salah saru programnya adalah memangkas rantai birokrasi. Cara yang diambil
dengan menyederhanakan eselonisasi.
"Penyederhanaan birokrasi harus terus
kita lakukan besar-besaran. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus
diprioritaskan," kata Jokowi saat itu.
Deputi Bidang Kelembagaan dan
Tata Laksana Kementerian PAN dan RB, Rini Widyantini mengatakan saat ini
pihaknya masih membicarakan dengan masing-masing Kementerian dan Lembaga. Pada
5 November 2019 lalu, Rini menjelaskan tentang beberapa hal pokok terkait
Penataan Unit Organisasi Eselon III ke bawah pada Kementerian atau Lembaga,
yaitu: visi mandat presiden tentang reformasi struktural, inventarisasi jumlah
jabatan di lingkungan kementerian/lembaga departemen, hal yang perlu menjadi
pertimbangan, framework pengalihan unit organisasi eselon III ke bawah,
kriteria pengalihan unit organisasi Eselon III ke bawah, roadmap penataan unit
organisasi, dan kebijakan yang perlu disiapkan.
Setelah jabatan eselon III dan
IV dipangkas, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengaku sudah berbicara dengan
para ahli IT dan menugaskan Menteri PAN-RB untuk menggantikan jabatan tersebut
dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) alias robot.
Menanggapi wacana yang segera
direalisasikan tahun depan ini, pengamat hukum dan kebijakan publik Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), RES Fobia, SH., MIDS. menjelaskan ada beberapa
pokok penting yang harus harus menjadi acuan bekerjanya para pejabat dengan
budaya baru berdasarkan peran Artificial Intelligence. Dalam hal ini, Artificial Intelligence harus
bekerja dengan pengenalan terhadap apa yang disebut Joseph S. Nye Jr., sebagai
Contextual Intelligence.
“Pertama, sudah lama sekali,
John Locke mengingatkan dalam konteks HAM dan Pemerintahan Sipil bahwa tujuan
pelantikan pejabat publik di suatu negara berdaulat adalah untuk memenuhi
hak-hak dasar warganya, antara lain hak hidup,” ungkapnya.
“Kedua, dalam sejarah penataan
birokrasi, setidaknya dapat dicontohkan bahwa di Amerika Serikat, pernah
dikerjakan arah reformasi birokrasi yang dikenal sebagai Reinventing Government,
sebagaimana dipopulerkan oleh Osborne dan Gaebler. Hakekat penataan
birokrasinya adalah transformasi nilai dan pola kewirausahaan ke dalam sektor
publik. Di Eropa, Pollitt dan Bouckaert mempromosikan New Weberian State yang
pada intinya menyangkut pelayanan birokrasi berbasis pengutamaan hubungan
negara dengan warga negara, dengan tujuan memenuhi hak-hak dasar warga negara,”
lebih lanjut RES menjelaskan.
Pengajar di Fakultas Hukum
UKSW ini mengatakan, responsifitas merupakan pertanda kedaulatan rakyat. Hal
ini penting supaya hakekat dan eksistensi pemerintahan, pembangunan,
kemasyarakatan dan kewilayahan Indonesia terutama yang jauh dari pusat-pusat
perkembangan, semakin bermakna, tak hanya simbolistik, apalagi sekadar penanda
kosong / empty signifier. “Hakekat pembangunan adalah pembebasan. Amartya Sen
dalam Development as Freedom menegaskan, pembangunan sebagai suatu proses
memperluas kebebasan nyata yang dinikmati rakyat,” terang RES Fobia.
Menurut RES, sebagai negara
kepulauan terbesar di bumi ini, pemerintah memang harus mampu merancang
kebijakan publik yang tangguh. Francis Fukuyama dalam Mission Orders and
Bureaucratic Autonomy, mengingatkan bahwa masalah utama dalam organisasi
birokrasi, baik di sektor publik maupun swasta, adalah bagaimana mendelegasikan
wewenang yang cukup untuk agen yang memiliki keahlian dan dekat dengan
sumber-sumber pengetahuan lokal, sementara pada saat yang sama menjaga kontrol
secara keseluruhan atas perilaku mereka.
“Sehubungan dengan itu,
pengambil kebijakan dapat antisipatif bahwa memang dibutuhkan panduan
kepemimpinan yang mumpuni karena berhadapan dengan soal rentang kendali yang
efektif (span of effective control). Pejabat harus paham tentang Contextual
Intelligence agar birokrasi yang hendak dikelola dengan Artificial Intelligence,
dapat berfungsi optimal,” pungkasnya. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !