Calon Hakim MK, Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum., (kanan) bersama dengan Redaktur Hukum infobreakingnews, Vincent Suriadinata, SH., MH. |
Jakarta, Info Breaking News - Panitia
seleksi (pansel) hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan 8 kandidat
calon hakim konstitusi yang lolos hasil seleksi administrasi dan tes tertulis
yang diajukan Presiden Republik Indonesia (RI).
Berdasarkan Keputusan Panitia
Seleksi Calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Presiden Nomor
06/PANSEL-MK/XII/2019 tanggal 4 Desember 2019. Sebelumnya, 17 nama mendafar
calon hakim konstitusi menggantikan posisi I Dewa Gede Palguna. Namun dari
nama-nama itu, 2 orang tidak ikut seleksi ujian tertulis.
Salah
1 dari 8 orang calon hakim konstitusi yang lolos hasil seleksi administrasi dan
tes tertulis adalah Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum. Pria kelahiran Kabonduk, Sumba
Tengah, 1 September 1971 ini sehari-hari adalah dosen di Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW), Salatiga. Ia menjadi dosen di FH
UKSW sejak 1996 dan mengampu mata kuliah ilmu negara, hukum tata negara, hukum
lembaga negara dan hukum acara peradilan konstitusi.
Umbu
begitu dirinya akrab disapa, menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum dari FH
UKSW Salatiga, kemudian melanjutkan S2 di Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran, Bandung dan lulus pada tahun 2001. Gelar doktor ilmu hukumnya
diraih dari Universitas Diponegoro pada 2015 dengan disertasi berjudul
'Rekonstruksi Sistem Pengujian Perda Sesuai UUD 1945'. Salah 1 penguji dalam
sidang disertasinya adalah hakim MK, Prof. Arief Hidayat. Umbu menyelesaikan
perkuliahan doktoralnya selama 3 tahun 8 bulan 12 hari dan mendapat nilai cumlaude
sebesar 3.76.
Disertasinya
yang cemerlang ini kemudian dibukukan dengan judul “Konstitusionalitas
Pengujian Peraturan Daerah”. Buku tersebut berisi gagasan membangun kembali
(rekonstruksi) sistem pengujian peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah
di Indonesia yang sesuai dengan amanat UUD NRI 1945. Gagasan merekonstruksi
tersebut didorong oleh problematika pengaturan dan praktik pengujian peraturan
daerah sejak tahun 2004 (melalui UU No 32 Tahun 2004) yang tidak sejalan dengan
roh atau semangat Pasal 24 A UUD NRI 1945. Problematika utama berkenaan dengan
tarik menarik pengaturan pengujian peraturan daerah yang melibatkan
pemerintahan pusat dan lembaga peradilan. Tarik menarik tersebut membawa
persoalan konstitusionalitas pengujian peraturan daerah yang dilakukan oleh
pemerintah pusat.
Selain aktif sebagai dosen, Umbu juga aktif menulis di
berbagai media massa baik cetak maupun online serta jurnal-jurnal ilmu hukum.
Pada
tahun 2018, Umbu Rauta dan tim dari FH UKSW mendapatkan hibah penelitian kompetitif
yang diinisiasi oleh Sekretariat Jenderal MK dengan judul ‘Legitimasi Praktik
Overruling di Mahkamah Konstitusi’. Kemudian pernah juga menjadi pembimbing
mahasiswa dari FH UKSW yang mengikuti kompetisi debat konstitusi.
Sosok Umbu Rauta memang cukup dekat
dengan lembaga MK. Belum lama ini, dirinya diberi amanat menjadi Ketua Panitia Kompetisi Debat Konstitusi Mahasiswa Antar Perguruan
Tinggi Se-Indonesia XII Tahun 2019 Tingkat Regional Tengah di UKSW, Salatiga.
Dalam kesempatan yang sama, Umbu juga menjadi pembicara dalam seminar nasional
dengan tema “Implikasi Putusan MK Terhadap Badan Peradilan Lain (Kontroversi
Pencalonan Anggota DPD Berlatar Belakang Partai Politik)”. Dirinya menjadi
pembicara bersama 2 orang narasumber lainnya yakni Hakim Agung Dr. Irfan
Fachruddin, SH., CN dan Hakim Konstitusi MK periode 2008-2018 Prof. Dr. Maria
Farida Indrati, SH., MH.
Ini
bukanlah kali pertama Umbu Rauta mengikuti proses seleksi hakim MK. Sebelumnya,
pada awal 2019 ia juga mengikuti fit and
proper test hakim konstitusi lewat jalur DPR. Pada waktu menjalani fit and proper test di DPR, Umbu
mengatakan mengatakan setuju dengan konsep Ultra Petita oleh Hakim.
Ultra
Petita merupakan merupakan penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang
tidak dituntut atau “hakim menjatuhkan putusan melebihi dari yang diminta.”
Menurutnya, Ultra petita itu diperkenankan untuk digunakan. Secara teoritik dan
maupun secara normatif. Adalah prinsip atau asas yudisial independensi atau
kebebasan hakim. Upaya lembaga peradilan untuk menjaga atau melindungi
konstitusi sendiri.
“Namun dalam pelaksanaannya, harus dilakukan hati-hati atau
tidak suka-suka dari hakim. Sepanjang itu dilakukan dalam menjaga melindungi
dan menghormati hak-hak konstitusional warga itu dibolehkan. Ultra Petita hanya
boleh diadakan dalam rangka mendesak dalam kasus yang sangat penting,” ungkap
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini.
Dalam
kesehariannya, Umbu dikenal sebagai orang yang disiplin, konsisten dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, serta memiliki kemauan belajar yang
baik. Selain itu, para mahasiswa juga mengenalnya sebagai sosok yang tegas dan
berwibawa namun mampu membagikan keilmuannya dengan rendah hati. Pria yang pernah menjabat sebagai Wakil
Rektor III UKSW (2005-2009) dan Ketua Program Studi MIH FH UKSW ini juga
dikenal sebagai sosok yang memiliki jiwa kepemimpinan, manajerial, dan profesionalitas
yang mumpuni.
Proses
selanjutnya yang akan ditempuh para calon hakim konstitusi yang dinyatakan
lulus seleksi administrasi dan tes tertulis adalah wawancara terbuka dan tes
kesehatan pada Rabu-Kamis, 11-12 Desember 2019 di aula gedung 3 Kementerian
Sekretariat Negara dan RSPAD. Panitia seleksi mengharapkan masukan dari
masyarakat terhadap peserta calon hakim konstitusi yang dinyatakan lulus
seleksi. Masukan disampaikan ke Sekretariat Panitia Seleksi mulai 4-10 Desember
2019 pukul 16.00 WIB di Gedung I Lantai 2, Jl. Veteran No. 18, Jakarta Pusat
10110, atau melalui email ke alamat: panselmk2019@setneg.go.id. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !