Jakarta,
Info Breaking News – Katanya semua pribadi sama di mata hukum, namun dalam
praktiknya hukum di Indonesia masih timpang dan kerap diskriminatif.
Hal inilah yang dirasakan oleh O.C. Kaligis, seorang advokat senior yang kini menjalani masa tahanan di Lapas
Sukamiskin, Bandung. Se
Menyoroti hal ini, O.C. Kaligis pun
kembali menulis surat terbuka yang kali ini dilayangkan kepada Ketua DPR RI,
Puan Maharani dan segenap jajaran DPR RI lainnya.
Berikut surat beliau seperti
diterima oleh redaksi infobreakingnews.com:
Sukamiskin, Jumat 10 April 2020.
Hal: Perlakuan diskriminatif
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan prinsip equality before the law.
Kepada yang
terhormat Ketua DPR RI ibu Puan Maharani dan para Wakil Ketua DPR RI.
Dengan segala
hormat,
Perkenankanlah saya Prof. Otto
Cornelis Kaligis, sebagai warga negara Indonesia, yang kepentingan hukum saya
dan warga negara lainnya, diwakili oleh Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua DPR RI
beserta semua jajarannya menyampaikan inti perundang-undangan dan peraturan-peraturan
lainnya, yang bertentangan dengan hak Asasi Manusia dan asas
persamaan di depan hukum (equality before the law).
Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Indonesia
adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan.
2. Pancasila
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia berdasarkan keadilan menuju
masyarakat yang makmur. (Sila kedua dan kelima)
3. Pasal
1(3) Undang Undang Dasar dengan jelas mengatur Indonesia sebagai Negara Hukum.
Makna dari ketentuan ini adalah bahwa setiap warga Negara diberikan oleh Negara
Perlindungan Hukum (legal protection) dan pelaksanaannya (legal enforcement)
tanpa diskriminasi.
4. Sebagai
anggota PBB kita juga mengakui Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Dua
pokok fondasi dari Declaration of Human Right yang diakui anggota PBB termasuk
Indonesia adalah prinsip Equal Right dan non-discrimination. Bahkan angka 7
Prinsip Umum Deklarasi tersebut berbunyi sebagai berikut: “Perlakuan hak yang
sama di depan hukum dalam perkara pidana dengan menjunjung tinggi asas praduga
tak bersalah tanpa adanya diskriminasi.” Ini yang menjadi
pertimbangan lahirnya Undang-Undang HAM, Undang Undang nomor 39/1999. Sayangnya
dalam pelaksanaan Hukum Pidana, diskriminasi itu tetap berlaku bagi vonis
Korupsi warga binaan. Persamaan kedudukan Hukum dirusak oleh PP 99/2012.
5. Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Dasar adalah fondasi Asas Perlakuan Persamaan di depan
hukum. Pasal 28 D (1) mengatur mengenai Hak Asasi yang merupakan bagian tak
terpisah dari kehidupan setiap manusia dan diakui oleh kovenan-kovenan PBB,
sebagai hak universal yang melekat pada setiap subyek hukum, tanpa kecuali.
6. Pasal
9 Undang-Undang Dasar, mewajibkan Kepala Negara dalam sumpahnya untuk taat
kepada Undang-Undang, sebagai konsekuensi Indonesia yang adalah Negara Hukum.
7. Sebagai
bagian dari anggota PBB, Hukum Nasional Indonesia tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang dianut PBB.
8. Kita
menggratifikasi ICCPR dan Transnational Organized Crime masing-masing dengan
Undang-Undang nomor 12/2005 dan Undang-Undang nomor 5/2008. Kita turut mengakui
prinsip-prinsip persamaan perlakuan di depan Hukum dan prinsip non diskriminasi
sejalan dengan ratifikasi kedua undang-undang tersebut. Sayangnya ratifikasi
Transnational Organized Crime belum sesuai dengan Hukum Pidana kita dalam
pelaksanaannya. Kita juga mengakui Mandela Rule yang diakui PBB serta semua kovenan
tersebut diatas yang berdasarkan Hak Asasi Manusia, mengesampingkan perlakuan
diskriminatif.
9. Undang-Undang
Pemasyarakatan nomor 12/1995 yang dimulai dengan pertimbangan Pancasila dan
Konstitusi sebagai Dasar menyatakan tidak berlakunya Undang Undang
Pemasyarakatan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Asas Undang-Undang
tersebut terdapat di Pasal 5: “Pengayoman terhadap warga binaan atas dasar
penghormatan terhadap harkat dan martabat warga binaan sejalan
dengan sila kedua Pancasila. Pasal 14 mengenai hak-hak warga binaan.
Harus diberlakukan secara non diskriminasi, sejalan dengan konvensi-konvensi
internasional di PBB, yang sekali lagi dengan tegas mengatur bahwa Diskriminasi
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
10. Non
diskriminasi, Bapak Persamaan Hak adalah Bapak Nelson Mandela penerima hadiah
Nobel, yang tak henti-hentinya sampai akhir hidupnya konsisten memperjuangkan
persamaan hak. Kata Nelson Mandela: “Keep Fighting against Injustice”. Jangan
berhenti berjuang melawan ketidakadilan.
11. PP
99/2012 memporak-porandakan dasar utama fondasi Republik ini yaitu Pancasila
Dan Konstitusi.
12. Hasil
Pansus DPRRI terhadap KPK menemukan fakta betapa oknum-oknum KPK korup dan
sering melakukan kejahatan jabatan. Sayangnya ketika fakta pelanggaran ini
menyangkut KPK, penegak hukum segan menindaklanjuti penyelidikan serta
penyidikan terhadap mereka.
13. Mestinya
Bibit, Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Novel Baswedan, Prof.
Denny Indrayana semua mereka sudah seharusnya diadili. Hal ini bila
dibandingkan bagaimana KPK menyidik seseorang, penyidikan yang penuh
intimidasi, rekayasa keterangan saksi, tuntutan yang copy paste, dakwaan
mengesampingkan fakta persidangan. Semuanya itu terungkap di dalam
Laporan Panitia Angket DPR RI pada Bab III di bawah judul Fakta, Data dan Hasil
Penyelidikan.
14. Sekalipun
hasil Pemeriksaan BPK terhadap korban-korban penyidikan KPK: tidak terdapat
Kerugian Negara, yang bersangkutan tetap dipenjara berdasarkan kesaksian de
auditu hasil rekayasa penyidik KPK. Sedangkan oknum-oknum KPK termasuk Prof.
Denny Indrayana yang gelar perkaranya menyimpulkan bahwa Prof. Denny adalah
tersangka koruptor, toh Prof. Denny tetap bebas melenggang. Bahkan
yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai Gubernur Kalimantan
Selatan. Jelas jelas mereka ini Kebal Hukum. Bibit,
Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, para tersangka deponeering,
namanya tidak pernah direhabiliter. Bambang yang di Mahkamah Konstitusi menolak
mati-matian kepemimpinan Jokowi, sekarang penikmat uang Negara sebagai pejabat
di DKI Jakarta. Idem dito dengan Chandra Hamzah sebagai Komut Bank Tabungan
Negara. Dan yang benar-benar super kebal hukum adalah tersangka pembunuhan,
Novel Baswedan.
15. Ketika
semua media, ICW dan LSM pendukung diskriminasi dan dengan meminjam nama rakyat
selalu menggiring masyarakat agar memandang kami sebagai sampah tanpa punya
persamaan hak, satu-satunya harapan kami adalah Ibu dan Bapak yang duduk
sebagai Pimpinan DPR RI. Semoga dapat memperjuangkan perlakuan persamaan hak
bagi kami para warga binaan vonis Korupsi.
16. Sejujurnya
banyak di antara kami tidak merampok uang Negara. Saya tidak menyuap satu sen
pun Hakim Tripeni untuk perkara saya yang dikalahkan dan dalam proses banding.
Saya bukan tersangka OTT. Tidak satu sen pun uang suap/THR disita dari tangan
saya. Semua yang OTT divonis antara 1 sampai 4 tahun. Saya 7 tahun untuk uang
THR 5000 dolar singapura yang diberikan oleh advokat Garry yang di OTT. Advokat
Garry pemberi uang THR hanya divonis oleh KPK 2 tahun disertai remisi.
17. Yang
merasa diperlakukan tidak adil bukan siapa-siapa, melainkan saya sendiri
termasuk kawan-kawan yang divonis tanpa bukti perampokan uang negara dan teman
senasib warga binaan lainnya di Sukamiskin. Silahkan pertanyakan sendiri fakta
ini kepada Bapak Barnabas Suebu, Surya Dharma Ali, Jero Wacik, Johannes Kotjo,
Johar Firdaus, DR. Drs. H. Ridwan Mukti MH ex Gubernur Bengkulu yang divonis
tanpa bukti, Helmi Kamal Lubis Mantan Direktur DP Pertamina yang
menguntungkan perusahaan yang selama ini terus merugi dan banyak korban
lainnya.
18. Cukup
banyak ahli Hukum yang mengkritisi kinerja KPK di masa lalu, yang terjun bebas
tanpa pengawasan. Laporan Panitia Angket DPR RI adalah bukti nyata bagaimana
banyak oknum KPK yang tempatnya seyogyanya di penjara-penjara di Indonesia.
Bedanya, mereka punya media, LSM pendukung yang dengan beritanya dapat
mempengaruhi Presiden, sehingga Presiden SBY yang semboyannya “Katakan Tidak
Kepada Koruptor,” akhirnya membebaskan tersangka Korupsi Bibit-Chandra Hamzah
melalui deponeering. Beda dengan nasib besannya sendiri Aulia Pohan, yang demi
pencitraan SBY, pantang diberi predikat deponeering. Sejak taktik deponeering
yang diperlakukan saat itu, Peradilan Indonesia, Penegakan Hukum Indonesia
berantakan dan hancur lebur. Persamaan kedudukan di depan Hukum
tidak berlaku bagi oknum-oknum KPK yang selalu bisa lolos Pidana karena
dukungan ICW, LSM dan Medsos pendukung.
19. Permohonan: Saya
O.C. Kaligis sebagai pribadi dan mewakili teman teman warga binaan. Kami hanya
memohon satu hal. Bukankah Bapak Presiden tidak pernah menolak revisi
Undang-Undang Pemasyarakatan? Beliau hanya memakai istilah “menunda”. Bagaimana
kalau para Pimpinan DPR meminta Kepada Bapak Presiden agar mencabut masa
penundaan tersebut dan mensahkan Undang-Undang Pemasyarakatan yang telah
disetujui DPR RI? Pengesahan itu pasti berguna bagi Yang Mulia, wakil-wakil
Rakyat, juga bagi kami para warga binaan, berguna bagi keluarga dan anak cucu
anda. Semoga diantara mereka tidak pernah ada yang tertimpa musibah dipenjarakan.
Atas perhatian Yang Mulia saya ucapkan banyak terima kasih.
Hormat saya.
Otto Cornelis
Kaligis Warga binaan usia usur, 78 tahun, dipenjara sudah 5 tahun tanpa remisi.
Penghuni Lapas Sukamiskin Blok Barat atas nomor 2.
Cc. Menteri Hukum
Dan Ham Yth. Bapak Yasonna Laoly Phd. ***Armen Fosters
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !