Pengamat Hukum Tata Negara, Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum |
Jakarta, Info Breaking News - Presiden
Joko Widodo menerbitkan paket legislasi dan regulasi dalam merespon implikasi
pandemi Covid-19, salah satunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1/2020) pada 31 Maret
2020.
Sejumlah
kalangan masyarakat sipil, termasuk politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien
Rais, mengajukan permohonan gugatan uji materi Perppu Penanganan Covid-19 ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
MK
telah menerima dua permohonan uji konstitusionalitas Perppu 1/2020. Pertama,
permohonan yang diajukan oleh sejumlah Pemohon perseorangan, di antaranya Din
Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk., yang teregistrasi dengan Nomor
23/PUU-XVIII/2020. Permohonan kedua dengan Nomor 24/PUU-XVIII/2020 diajukan
oleh sejumlah organisasi masyarakat, yakni Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi
(MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA).
Pada
Senin (20/4/2020), MK menerima permohonan baru terkait pengujian Perppu 1/2020
yang dimohonkan oleh Damai Hari Lubis yang langsung diregistrasi dengan Nomor
25/PUU-XVIII/2020.
Pasal
22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mengatur alasan penetapan Perppu yaitu “dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pemaknaan “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” yaitu adanya kedaruratan pengaturan untuk mengatur dan
menyelesaikan kebutuhan mendesak secara cepat.
Penentuan
ada tidaknya kedaruratan tersebut, secara subyektif (namun dalam batas
tertentu) ada pada Presiden. Untuk memastikan secara obyektif atas pandangan
Presiden, perlu konfirmasi (diuji) oleh rakyat melalui wakil rakyat, sehingga
pada ayat (2) pasal yang sama dinyatakan “Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya”.
Manakala DPR bersetuju, Perppu itu berubah “jubah” menjadi Undang-Undang (UU),
namun jika sebaliknya, harus dicabut (dengan UU Pencabutan Perppu). Kaidah
konstitusional ini memberi preskripsi bahwa Perppu diuji melalui instrumen
“legislative review” atau diuji (secara politik) oleh DPR,” terang pengamat
hukum tata negara, Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum.
Meski
MK menyatakan berwenang menguji Perppu, sehingga telah meregister ketiga
permohonan pengujian Perppu 1/2020, namun tidak serta merta akan mengabulkan
permohonan dimaksud. Sejauh informasi yang ada, MK belum pernah mengabulkan
permohonan pemohon, atau dengan kata lain menyatakan Perppu bertentangan dengan
konstitusi (UUD NRI 1945).
“Hal
ini karena beberapa alasan, baik karena tiadanya kedudukan hukum (legal
standing) pemohon, permohonan gugur, maupun karena eror of objectum, yaitu saat
pengujian Perppu dilakukan oleh MK, DPR telah membahas dan memberi persetujuan
terhadap Perppu, sehingga berganti “jubah” menjadi Undang-Undang,” kata Umbu.
Umbu
menjelaskan, untuk judicial review melalui MK, terbuka kemungkinan dilakukan
pengujian secara formil dan materil, tergantung permohonan pemohon. Hal ini
dilatarbelakangi oleh lingkup kewenangan MK dalam pengujian UU sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 maupun UU MK dan Peraturan MK tentang Hukum
Acara Pengujian UU.
“Dari
informasi website MK, ruang lingkup permohonan terhadap Perppu 1/2020 tidak saja mempersoalkan aspek materil (Pasal
2 ayat 1, dan 27 Perppu 1/2020), tetapi juga aspek formil, yaitu Perppu 1/2020
didalilkan tidak memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”,” kata
dosen FH Universitas Kristen Satya Wacana ini.
Sementara
untuk legislative review, tidak tertutup kemungkinan DPR akan menjadikan aspek
materi atau substansi Perppu 1/2020 sebagai pintu masuk pengujian. Boleh jadi,
karena ketidaksetujuan pada beberapa materi dari Perppu 1/2020 (yang diduga
bertentangan dengan materi dalam UUD), DPR akan menolak memberi persetujuan.
Tentu hal ini sukar untuk dibatasi karena DPR sedang menjalankan tugas
konstitusionalnya yaitu melakukan pengawasan atas produk hukum yang ditetapkan
Presiden.
“Namun
sebaliknya, Presiden boleh jadi memiliki sejumlah pertimbangan (ratio legis)
saat menetapkan Perppu 1/2020 yang perlu didengar oleh DPR. Bahkan yang
menarik, karena DPR adalah “lembaga politik”, tak terhindarkan adanya
“bargaining politik”. Soliditas parpol koalisi pendukung pemerintah dapat
menjadi “modal” untuk “mengamankan” kebijakan Presiden (baca: Perppu 1/2020).
Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi, hanya waktu yang akan menjawabnya,”
ujar Umbu.
Ketika
ditanya apa implikasi hukum jika pada saat bersamaan DPR dan MK menguji Perppu
1/2020, Umbu menegaskan bahwa hal ini sangat bergantung pada lembaga mana yang
lebih dahulu menyelesaikan pengujian.
“Selama
ini, meski pengujian dilakukan secara bersamaan, DPR selalu lebih dahulu
menyelesaikan pengujian, sehingga pengujian Perppu di MK menjadi “berhenti”
karena tiadanya obyek pengujian. Itu sebabnya MK memberi putusan tidak dapat
diterima. Jika terjadi sebaliknya, ketika pengujian di DPR belum selesai,
sementara MK telah selesai menguji dengan putusan mengabulkan permohonan
pemohon, namun belakangan, DPR memberi persetujuan terhadap Perppu menjadi UU.
Keadaan ini menimbulkan komplikasi hukum ketatanegaraan. Jika semata-mata
menggunakan perspektif Pasal 22 UUD 1945, hasil pengujian DPR lebih “kuat”
ketimbang pengujian yang dilakukan MK. Namun, meski kewenangan MK bersumber
dari praktik, boleh jadi menjadi sumber hukum yang setara dengan norma dalam
konstitusi,” pungkasnya.
MK
akan menggelar sidang permohonan terkait Perppu 1/2020 pada Selasa, 28 April
2020, pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang Pleno MK. ***Vincent Suriadinata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !