Jakarta, Info Breaking News –
Calon Walikota Malang 2018, Ya’qud Ananda Gudban menuliskan surat untuk Najwa
Shihab. Dalam suratnya, wanita cantik yang kini tengah menjalani hukuman di rumah tahanan
(rutan) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur tersebut menceritakan kisah pahitnya.
Menampik pernyataan Najwa yang
sebelumnya berkomentar bahwa penjara koruptor semuanya baik, Ya’qud bercerita
bahwa tidak semua napi koruptor mendekam di LP Sukamiskin dan berkesempatan
merasakan fasilitas mewah.
"Maka izinkan saya
menceritakan kisah saya, seorang narapidana koruptor yang tak tinggal di LP
Sukamiskin, dengan fasilitas mewah seperti yang Najwa lihat dalam kunjungan
yang tampaknya memang sangat berbekas bagi Najwa," kata Ya'qud dalam surat
yang berjudul 'Surat Ya'qud Ananda Gudban untuk Najwa Shihab'.
Ya’qud yang divonis 4 tahun 8
bulan tersebut mengaku sempat merasakan tinggal di Rutan Pondok Bambu selama 4
bulan. Ia ingat persis kala itu dirinya beserta sejumlah napi lain harus tidur
berdesak-desakan di kamar berukuran 2x4 meter dengan tempat tidur 1x2 meter
yang dialaskan matras 1,5 cm. 180 orang menempati lapas dengan kapasitas yang
sesungguhnya hanya bisa menampung 45 orang.
"Harus berbagi dengan
rekan lain yang juga dituduh sebagai koruptor. Kami tidur dengan posisi kaki
bersanding dengan kepala. Selama 1 tahun 7 bulan. Kami adalah bagian kecil dari
rutan dengan kapasitas 450 orang, namun berisi sekitar 3.000 orang,"
tuturnya.
Lapas yang ia tempati pun
bukan berlokasi di gedung mewah, tetapi hanya di bangunan tua yang sirkulasi
udaranya pun tidak layak. Para napi dikatakan hanya bisa melihat matahari
seminggu sekali saat diberi kesempatan berolahraga. Batuk pilek pun diakui Ya’qud
sudah jadi makanan sehari-hari.
"Gatal-gatal di kulit? Ah, itu
biasa. Penyakit standar bagi penghuni penjara," kata dia.
Meski begitu, ia bersyukur
karena sudah hampir sebulan ini para napi perempuan dari Rutan Medaeng
dipindahkan ke Rutan Porong. Rutan yang baru didirikan ini ia anggap seperti surga
lantaran kini ia bisa melihat matahari.
"Hanya karena kami bisa
mendapatkan sinar matahari setiap hari. Soal tidur masih tetap sama,"
jelas dia.
Berikut surat lengkap yang
ditulis Ya’qud untuk Najwa:
Hai
Najwa,
Kita
dulu pernah ketemu. Tepatnya, sebagai penggemar, saya mengejar untuk bertemu
Najwa Shihab. Pertemuan sekitar 10 menit di Depot Bakso President, Malang, itu
tentu tidak bisa membuat Najwa mengingat one in millions fans-nya. Tetapi,
pertemuan itu selalu membekas di hati dan pikiran saya.
Saya,
Ya'qud Ananda Gudban, seorang narapidana koruptor. Saya didakwa menerima suap
awalnya sebesar Rp 15 juta. Kemudian ada tambahan dakwaan Rp 5 juta.
Selanjutnya dakwaan bertambah lagi, jadi total menjadi Rp 150 juta.
Selama
lima bulan persidangan sangat alot untuk beradu data dengan jaksa KPK demi
membuktikan saya tidak bersalah. Namun, majelis hakim tetap menyatakan saya
bersalah dan menjatuhkan vonis 4 tahun 8 bulan penjara atau 56 bulan penjara.
Saat
surat ini saya buat, saya sudah menjalani masa tahanan selama 740 hari. Mulai
di Rutan Pondok Bambu Jakarta, Rutan Medaeng Surabaya, hingga di Rutan Porong,
Sidoarjo.
Saya
yakin Najwa bisa dengan mudah mencari tahu siapa saya karena jejak digital saya
bisa dilacak di dunia maya. Di sana tertulis, tanggal 27 Maret 2018 saya
ditahan oleh penyidik KPK. Saya tidak sendiri, saya bagian dari gelombang besar
tersangka korupsi di DPRD Kota Malang. Tuduhannya bervariasi, antara mendapat
uang Rp 10 juta sampai Rp15 juta. Ada ratusan informasi media tentang proses
persidangan saya. Ada juga rencana politik saya untuk maju sebagai calon wali
kota Malang di Pilkada 2018.
Yang
mungkin tidak bisa ditemukan di dunia maya adalah apa saja yang sudah saya
perbuat di Kota Malang. Baik sebagai anggota DPRD maupun aktivis perempuan.
Jika pun ada, tidak banyak. Karena memang cerita-cerita semacam itu tak akan
muncul menjadi diskursus publik. Berita seorang calon wali kota yang terdakwa
korupsi tentunya jauh lebih menarik perhatian para warga +62.
Yang
juga tidak banyak info di media digital adalah bagaimana narapidana korupsi
berada di dalam penjara. Kisah-kisah ini tidak bisa dilihat hanya dari
kunjungan sesaat di LP Sukamiskin, misalnya. Maka izinkan saya menceritakan
kisah saya, seorang narapidana koruptor yang tak tinggal di LP Sukamiskin;
dengan fasilitas mewah seperti yang Najwa lihat dalam kunjungan yang tampaknya
memang sangat berbekas bagi Najwa. Mungkin kisah saya bisa mewakili banyak napi
koruptor lainnya di berbagai lapas di Indonesia.
Najwa
yang tetap saya kagumi, izinkan saya bercerita tentang sel koruptor.
Saya
pernah menempati sel di Rutan Pondok Bambu selama 4 bulan. Saya tak ingat
persis ukurannya. Tapi saya ingat tidur berdesak-desakan. Tak terpisah
sejengkal pun dari rekan satu sel.
Saya
juga pernah menempati kamar ukuran 2 x 4 meter, dengan tempat tidur (badukan
dari semen) berukuran 1 X 2 meter. Beralas matras 1,5 cm dan harus berbagi
dengan rekan lain yang juga dituduh sebagai koruptor. Kami tidur dengan posisi
kaki bersanding dengan kepala. Selama 1 tahun 7 bulan.
Di
penjara, kami sebut dengan istilah "turing" (alias turu miring atau
tidur miring). Blok kami berkapasitas 45 orang, tetapi dihuni oleh sekitar 180
orang. Kami adalah bagian kecil dari rutan dengan kapasitas 450 orang, namun
berisi sekitar 3.000 orang.
Bangunan
penjara kami adalah bangunan tua tanpa sirkulasi udara yang layak. Kami hanya
bisa menikmati matahari seminggu sekali ketika diberi kesempatan untuk berolah
raga. Batuk pilek sudah menjadi menu sehari-hari. Gatal-gatal di kulit? Ah, itu
biasa. Penyakit standar bagi penghuni penjara.
Syukurlah
sudah lebih dari sebulan ini kami, napi perempuan Rutan Medaeng, dipindahkan ke
Rutan Porong. Rutan ini baru berdiri, dan kini terasa sebagai surga. Hanya
karena kami bisa mendapatkan sinar matahari setiap hari. Kalau soal berdesakan
dan "turing", tetap tak banyak berubah.
Najwa
yang baik,
Saya
selalu kagum dengan narasi-narasi cerdas yang keluar dari bibir Najwa dalam
setiap acara, serta ketajaman Mata Najwa dalam melihat atau mengulik sebuah
kasus. Saya selalu percaya bahwa Najwa memang punya sebuah idealisme untuk
membangun masyarakat sipil yang kritis, membangun transparansi di media lewat
dialog yang sehat untuk perubahan yang lebih baik di masyarakat.
Ketika
saya memilih untuk terjun ke dunia politik dan maju menjadi anggota DPRD adalah
karena saya punya idealisme yang sama denganmu. Saya ingin membuat perubahan,
yang saya percaya, hanya bisa terjadi ketika saya masuk ke dalam sistem sebagai
pembuat kebijakan.
Betul,
banyak politisi yang masuk ke kolam sudah dengan baju kotor berlumpur sehingga
membuat air keruh. Tapi, saya juga mengenal banyak politisi yang masuk dengan
baju bersih, mencoba sedapat mungkin untuk tak melewati kubangan lumpur agar
tak terciprat noda-noda kotor. Tetapi nyatanya itu memang sangat sulit walau
bukan mustahil.
Dan
yang paling sedih adalah ada politisi yang berhasil tiba di tepian (baca:
mencapai tujuannya membuat perubahan) dengan satu dua noda kotor cipratan
lumpur yang tak mungkin terelakkan, ia lalu dihakimi sebagai politisi kotor dan
mendapat cap koruptor sepanjang hidup.
Sayangnya,
Najwa mungkin belum bertemu mereka, atau mungkin sudah bertemu, tapi kisah
mereka tak semenarik para koruptor besar untuk diulik di layar kaca dan media
sosial.
Najwa
yang baik,
Ibu
penjaga sel kami berbagi tentang hiruk pikuk di media sosial mengenai sikap
kritis Najwa yang mempertanyakan kepada Pak Menteri Hukum dan HAM agar membuka
ke publik. Yakni, narapidana kasus korupsi apa dan di mana yang menempati sel
berdesak-desakan seperti napi umum yang bahkan tidurnya harus bergantian.
Ah,
Najwa, pasti karena kita belum pernah bertemu dan ngobrol. Tapi terlalu mewah
bagi saya kalau berharap Najwa sudi menengok kami di Lapas Porong, Sidoarjo.
Meskipun, seeing is believing. Saya juga tak berani berharap Najwa mampir ke
Rutan Medaeng Surabaya, yang bukan khusus untuk koruptor.
Ah
iya, saya lupa. Najwa sudah pernah meliput dan melihat bagaimana para
narapidana tidur bagai pindang. Saya tak tahu mengapa Najwa tak berteriak
meminta pemerintah segera membenahi kondisi yang sangat tak manusiawi itu.
Semua terjadi karena sangat kelebihan kapasitas. Jika kemarin sempat
membebaskan 30 ribu napi, itu masih sangat kecil. Penghuni ruangan tetap
melebihi kapasitas semestinya. Najwa barangkali juga pingin tahu, berapa lama
hukuman dan kasus apa saja yang membuat kelebihan tampung ini terjadi.
Najwa
yang baik,
Kami
pun geregetan mendengar ada tahanan yang bisa pelesir. Kami pun sangat sedih
karena konsekuensi satu dua cerita tentang tahanan koruptor yang nakal,
akhirnya harus ditanggung oleh semua narapidana koruptor. Padahal, kalau mau
adil, bukankah seorang yang berdosa tidak bisa memikul dosa orang lain
(QS.17;15).
Kalau
mau, Najwa juga bisa mendapat cerita dari tahanan-tahanan lain. Tentang apa
kasusnya, bagaimana persidangan mereka, dan apa vonis mereka. Informasinya
sangat penuh warna, termasuk menggali banyak microstories bagaimana sistem
hukum kita bekerja yang tak selalu sesuai teks UU kepada banyak orang yang
akhirnya jadi terpidana. Tema narapidana jauh lebih luas dan tak terduga, yang
tak kalah menggugah dibanding kisah koruptor.Mungkin Najwa tak tahu bagaimana
gemetarnya saya mendengar ancaman akan dikirim ke Nusa Kambangan hanya karena
kesalahan satu orang. Saya menjerit dalam ruang hampa. Kami memang narapidana.
Tapi kami menjaga kelakuan baik. Kami bukan pembuat masalah. Kami, beberapa
tahanan korupsi di lapas, membicarakan itu dengan mata berkaca-kaca.
Saya
lihat banyak napi korupsi bermanfaat bagi napi lain. Saya ingat petak kamar
saya, 2 x 4 meter dan diisi empat orang itu adalah tempat teman-teman lain
datang berkeluh kesah. Tentang kasus yang merundungnya dan kehidupannya. Petak
kecil itu telah membantu beberapa teman membuat pledoi. Di petak itu setiap
Selasa dan Kamis malam, kami buat bahan ajar untuk tahanan anak. Karena setiap
Rabu dan Jumat, saya harus mengajari mereka materi etika dan tata krama. Ironis
memang, dibanding apa yang sudah dicapkan kepada kami.
Kami
tidak merasa kami bernilai. Kami hanya terus berbuat karena kami ingat jelas
dalam salah satu ceramahnya Ami Quraish Shihab menyampaikan salah satu Hadits
Nabi salallahu alaihi wassalam, "Manusia yang paling baik adalah manusia
yang paling bermanfaat bagi orang lain." Kami juga menganggap berbuat
sebisanya itu bagian dari upaya pemasyarakatan, penebusan atas cap kesalahan
kepada kami.
Ketika
kebanyakan dari kami bersikap sesuai aturan serta berbuat semampunya untuk
saling membantu, kenapa hal ini tidak berdampak kepada napi lain dengan kasus
yang sama? Sementara kalau ada satu saja napi koruptor bertindak curang, semua
yang lain terkena dampaknya.
Tak
adakah keinginan agar narasi seperti itu dikisahkan, agar kebaikan yang
dilakukan. Agar bisa mengurangi stigma, bahwa semua napi koruptor yang
tergambar sebagai rakus dan tak pernah menderita di balik jeruji? Stigma ini
makin berat terasakan oleh seorang ibu seperti saya. Berpisah dengan anak
adalah penderitaan terbesar seorang ibu, terlebih dengan beban stigma gebyah
uyah yang memerihkan itu.
Najwa
yang baik,
Saya
menaruh hormat setinggi-tingginya bagi Najwa yang setelah sekian lama
"berenang" di kolam milik pemodal sekaligus politisi, akhirnya
memilih untuk membuat kolamnya sendiri. Agar bisa berenang bebas sampai di
tujuan dengan air yang bersih. Bahkan steril dari kepentingan, sehingga Najwa
bebas berteriak dengan suara lantang.
Kami
yakin Najwa bukanlah jurnalis sebelah mata yang hanya bisa melihat sebuah isu
hanya dari satu sisi, yakni dari vonis hakim. Najwa tentu paham bahwa dalam
sistem hukum kita sekarang tak selalu seiring dengan kebenaran hakiki.
Percayalah kami pun pernah berjuang dengan sekuat-kuatnya, dengan sehormat-hormatnya,
agar kami diperlakukan seadil-adilnya.
Maka,
Najwa, ketika wabah pandemic Covid-19 ini terjadi kami di dalam sel tahanan,
meski dengan informasi yang sangat terbatas pun juga cemas. Physical
distancing? It is impossible. Kapasitas penjara se-Indonesia 125 ribu sementara
penghuni sekarang 270 ribu. Membebaskan 30 ribu tahanan pun masih jauh dari
ideal.
Kami
bukan manusia super. Kami juga manusia biasa yang takut akan kematian, takut
akan rasa sakit, takut membuat orang yang kami cintai harus sedih tak
berkesudahan. Terbayang wajah anak-anak kami, juga orang tua kami.
Najwa
tidak tahu, bukan? Bahwa setiap gema takbir hari raya dikumandangkan, begitu
banyak nama yang mendapat remisi. Banyak yang langsung bebas. Kecuali kami,
koruptor dan mereka yang dikenai PP No. 99 tahun 2012. Sudah dua takbir saya
mendapat tatapan empati dari teman-teman yang menerima remisi sambil mendoakan
semoga ada keajaiban di takbir ketiga yang notabene bulan depan.
Tidak
ada ampunan walau sehari pun bagi kami, Najwa, Not even a day. Padahal syarat
utama mendapat remisi adalah berkelakuan baik. Namun sayang lapas yang membina
kami hanya bisa memberi skor penilaian karena kelulusan masih menjadi milik
lembaga yang menahan.
Saya
ingat Ibu Siti Fadilah bercerita pada saya di Rutan Pondok Bambu, Beliau
mengajukan permohonan untuk mendapatkan remisi dengan pertimbangan berkelakuan
baik, perempuan lansia (70 tahun) dengan medical record yang sudah jauh dari
normal (tidak sehat), dan pernah menerima bintang jasa dari presiden karena
berjasa bagi negara. Namun ditolak mentah-mentah.
Najwa,
Kami
sudah berusaha menjadi warga negara yang baik. Kami terkurung menjalani hukuman
dalam situasi pandemi global yang sangat rawan. Salahkah jika kami berharap ada
sedikit perhatian dari pemerintah sama halnya dengan apa yang diperoleh oleh
napi non-korupsi?
Hingga
saat ini saya masih berjalan tegak karena nurani saya sangat yakin bahwa saya
tidak melakukan apa yang dituduhkan. Namun ini adalah konsekwensi ketika saya
memutuskan terjun ke dunia politik.
Saya
percaya Najwa dan gelombang besar yang bersama Najwa akan mampu membaca pesan
saya ini lewat keindahan dan ketajaman mata (hati) Najwa.
Salam,
Nashrun
minallah wa fathun qariibYa'qud Ananda Gudban. ***Samuel Art
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !