Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono
Ada kobaran api di Amerika. Ada kerusuhan dan penjarahan di
banyak kota. Suasananya seperti “perang”. Puluhan ribu tentara yang
ada di wilayah (national guard) sudah dikerahkan dan diterjunkan. Ribuan
pengunjuk rasa dan perusuh ditahan. Banyak pula kota yang memberlakukan jam
malam.
Dunia tercengang.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Amerika jadi begitu?
Inilah pertanyaan yang muncul di banyak negara.
Ternyata masyarakat internasional bukan hanya tercengang. Muncul
pula protes-protes yang menunjukkan solidaritasnya dengan komunitas kulit hitam
Amerika itu. Kita saksikan, paling tidak terjadi di 14 kota besar di dunia ~
London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney,
Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, dan Rio de Janeiro.
Saya tidak ikut-ikutan tercengang. Cuma merenung. Dan mau
bertanya sedikit “Are you OK, Amerika”? Yang bertanya begini mungkin banyak. Di
seluruh dunia. Bukan hanya saya.
Saya tidak termasuk orang yang anti Amerika. Atau anti
Barat.
Dalam pengabdian panjang saya sebagai prajurit TNI (sekitar 30
tahun), empat kali saya mengemban tugas pendidikan dan pelatihan di Amerika
Serikat. Ketika menjadi Menteri dan Presiden, saya juga sering melakukan
kunjungan ke negara Paman Sam itu. Termasuk membangun kemitraan strategis
(Strategic Partnership) di antara ke dua negara, Indonesia - Amerika Serikat.
Hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan dan saling hormat menghormati
dulu terus kita jalin, baik pada masa pemerintahan Presiden Bush maupun Presiden
Obama.
Satu catatan, ketika hubungan Indonesia - Amerika terus
berkembang dengan baik, kita juga menjalin hubungan (termasuk kemitraan
strategis) dengan negara lain. Negara-negara itu sebagian adalah “rival”
Amerika. Menurut saya, sesuai amanah para pendiri republik, “politik bebas
aktif” harus tetap menjadi haluan kita. Di era saya dulu, saya tambahkan lagi
dengan “all direction foreign policy”. Artinya, menjalin hubungan baik ke
segala penjuru dunia, apapun ideologi dan sistem politik yang dianut
negara-negara itu. Syaratnya, mereka menghormati kedaulatan kita dan memiliki
“common interests” dengan Indonesia.
Sungguhpun saya tidak membenci dan anti Amerika, namun saya
bukanlah tipe orang yang “mendewakan” Amerika. Mengapa ini harus saya katakan?
Banyak orang di dunia ini, saya kira di negeri kita juga ada,
yang sangat mengagungkan Amerika Serikat. Seolah, negara itu selalu benar.
Tidak pernah salah. Orang-orang itu juga menganggap Amerika bisa menjadi “role
model”. Menjadi panutan dan rujukan. Mungkin demokrasinya, HAMnya,
kebebasannya, pranata hukumnya, sistem politiknya, pemilunya, ekonomi pasarnya,
ketokohan presidennya dan lain-lain.
Dalam waktu yang sangat lama Amerika juga dinilai sebagai negara
yang segalanya “paling”. Maksudnya, paling kaya ekonominya, paling kuat
militernya, paling dominan politik luar negerinya dan paling maju teknologinya.
Bahkan setelah berakhirnya Perang Dingin di akhir tahun 1980-an, Amerika
dianggap sebagai satu-satunya negara Adi Daya (Super Power). Melekat pula
sebuah “pengakuan” bahwa de facto Amerika adalah pemimpin dunia (global
leader).
Pertanyaannya sekarang adalah “apakah Amerika masih seperti
itu?” Inilah yang menarik untuk dijawab.
Siapa yang bisa menjawab, di samping negara-negara lain, ya
bangsa Amerika sendiri. Dengan catatan mereka harus jujur dan objektif.
Sebelum mengamati apa yang terjadi di Amerika saat ini,
barangkali ada yang pernah membaca buku yang berjudul “The Rise and Fall of the
Great Powers” yang ditulis oleh Paul Kennedy. Mungkin buku itu sekarang sudah
menjadi klasik dan tak lagi dibicarakan. Saya masih ingat isinya, karena ketika
berpangkat letnan kolonel saya pernah mendiskusikannya dengan sahabat saya Agus
Wirahadikusumah (almarhum).
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Amerika tidak selalu
berjaya. Atau bisa mengalami nasib yang sama dengan negara-negara yang pernah
berjaya dan kemudian jatuh. Atau paling tidak menyusut pamornya.
Ingat dulu ada Inggris dan negara-negara Eropa yang pernah
berjaya pada jamannya. Menguasai dunia. Jepang pernah menjadi contoh negara
yang sangat sukses. Kini Tiongkok tumbuh mengagumkan. Tapi, apakah Tiongkok
akan menggantikan Amerika sebagai pemimpin dunia yang baru, tak ada yang
tahu.
Amerika juga begitu. Tentu, saat ini Amerika masih “digdaya”.
Tapi laksana matahari, ada masa terbit dan terbenamnya, kisah jaya dan jatuhnya
sebuah negara akan selalu ada.
Kembali ke soal Amerika, mungkin tak perlu terlalu jauh kita
membicarakan nasib dan masa depannya. Sebab, menurut saya hanya Tuhan yang
tahu. Kita lihat sajalah situasi Amerika saat ini. Minggu-minggu ini.
Tiga Pukulan Besar untuk Amerika.
Kalau ada acara “cerdas cermat” dan ditanyakan 3 hal tentang
Amerika saat ini, jawaban saya akan cepat. Pertama, korban Covid-19nya
tertinggi di dunia; kedua ekonominya tidak cerah; dan ketiga terjadi kerusuhan
sosial yang meluas.
Tiga-tiganya memang tak sedap untuk didengar. Tapi itulah yang
terjadi.
Mungkin ada juga yang menyangkal bahwa tidak benar kalau Amerika
saat ini kedodoran. Dia bisa berkata “America remains great”. Mungkin
ditambahkan “We are OK. We will be fine”. Benarkah?
Sebenarnya saya ingin fokus ke soal kerusuhan dan keamanan
publik di Amerika, namun bagaimanapun perlu disinggung sedikit tentang pandemi
dan ekonomi negara itu. Mungkin ada baiknya. Paling tidak bisa jadi bahan
pelajaran bagi kita.
Meskipun pandemi global ini belum berakhir, masih berlangsung,
namun rapor awal sudah kelihatan. Ketika artikel ini saya tulis, 3 Juni 2020,
jumlah kasus Covid-19 di Amerika mencapai lebih dari 1,87 juta kasus. Sedangkan
jumlah yang meninggal lebih dari 108 ribu orang. Ini merupakan angka tertinggi
di dunia.
Kalau ada yang “usil” bisa saja dia bertanya, apakah ada yang
keliru dalam penanganan pandemi di negara ini. Tidakkah Amerika punya
segalanya?
Amerika memiliki kemampuan intelijen dan deteksi dini terhadap
kemungkinan penyebaran Covid-19 ke negaranya. Punya sistem pelayanan kesehatan
yang cukup maju dan mapan. Ekonominya kuat sehingga memungkinkan untuk
mengeluarkan dana stimulus yang besar. Jumlah dokter, ahli pandemi dan ilmuwan
yang dimiliki segudang. Teknologi yang dimiliki juga sangat maju.
Lantas apa?
Apakah ada persoalan dengan kohesi politik, misalnya tidak
solid? Apakah kurang akur antara para pemimpin politik dan ilmuwan ahli pandemi?
Apakah dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah kurang? Apakah ada
permasalahan dengan kepemimpinan Presiden Trump?
Tapi, soal ini kita serahkan saja kepada bangsa Amerika.
Biarlah sejarah yang akan menulisnya kelak. What went right and what went
wrong.
Berikutnya tentang ekonomi.
Sebenarnya, cerita tentang kejatuhan dan krisis ekonomi akibat
pandemi ini sudah menjadi milik dunia. Artinya, bukan hanya Amerika yang
mengalami resesi dan guncangan ekonomi ini. Namun, ketika ini terjadi di sana ~
ekonomi terbesar dunia ~ tetap saja memiliki arti penting.
Apalagi dunia tahu bahwa Trump sangat membanggakan prestasi dan
capaian ekonominya 3,5 tahun terakhir ini. Misalnya, tentang pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan pengangguran yang rendah. Nah, ketika fundamental yang
dibanggakan ini runtuh, isunya akhirnya bukan hanya soal ekonomi semata, tetapi
juga lari ke sosial dan politik. Sebagai contoh, bisa ditelusuri apakah
penjarahan (looting) yang terjadi di banyak kota ini karena faktor rasial
(racism), atau faktor ekonomi. Jangan-jangan karena kesulitan ekonomi yang
dialami oleh golongan bawah akhirnya memaksa mereka melakukan penjarahan
itu.
Dua isu ini saja mestinya membuat para pemimpin Amerika pusing ~
pandemi yang banyak korbannya dan belum masuk zona hijau, serta situasi ekonomi
yang kelam. Apalagi ditambah dengan goncangan sosial dan keamanan publik pasca
tewasnya George Floyd, yang kini menjadi simbul perlawanan rakyat, utamanya
komunitas kulit hitam. Sekarang saya akan fokus ke urusan ini.
Amerika Pasca George Floyd, Apa yang Akan Terjadi?
Lebih dari satu minggu ini media internasional menyiarkan dan
memberitakan terjadinya aksi-aksi unjuk rasa yang masif di Amerika. Termasuk
tayangan kekerasan, kerusuhan, vandalisme dan bahkan penjarahan yang terjadi di
banyak kota. Akan berkembang ke manakah gerakan sosial ini dan seperti
apa pula akhirnya ...... belum bisa ditebak.
Ada sejumlah skenario yang menurut saya bisa terjadi.
Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara
persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh
itu bisa diredakan. Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh
pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan
demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh
pemerintah.
Skenario kedua, unjuk rasa makin meluas. Gabungan unsur polisi,
National Guard dan elemen tentara federal (misalnya polisi militer) tak mampu
menghentikan atau meredakannya. Para Gubernur dan Walikota dengan “resources”
yang ada tak juga bisa mengatasi keadaan. Pemerintah Federal “terpaksa”
melakukan negosiasi dengan elemen perlawanan masyarakat dengan pemberian
konsesi tertentu.
Saya membayangkan negosiasinya tentu tak mudah. Konsesi (deal) apa
yang bisa dicapai juga tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sulit diyakini
bahwa Trump punya pikiran dan bersedia untuk melakukan kompromi dengan mereka
yang menuntut keadilan itu.
Skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini
terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk. Aksi-aksi
kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump
dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi
kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang “tegas dan keras”.
Dalam skenario ketiga ini pemulihan ketertiban dan keamanan (law
and order) diambil alih oleh pemerintah pusat. Presiden selaku
“Commander-in-Chief” mengerahkan tentara federal (US Military Forces) untuk
menanganinya. Sebenarnya dalam sejarah Amerika hal begini tidak lazim, namun
tidak berarti tidak akan terjadi. Dua hari ini saya menyimak apa yang
disampaikan oleh Presiden Trump bahwa setelah dia menilai para gubernur dan
walikota umumnya lembek, akan dikerahkan kekuatan militer Amerika untuk
mengatasi aksi-aksi protes yang dibarengi kerusuhan dan penjarahan ini.
Di samping 3 skenario itu tentu masih ada yang lain. Negara
manapun, selalu memiliki rencana kontijensi. Jika situasi berubah total dan
rencana operasi yang telah disiapkan gagal mencapai tujuan, dengan cepat akan
disiapkan penggantinya. Hal ini menjadi domain dari institusi yang tugas
pokoknya berkaitan dengan dunia pertahanan, keamanan dalam negeri (internal
security) dan keamanan publik.
Kembali kepada ketiga skenario yang mungkin terjadi di Amerika
itu, saya hanya akan menyoroti skenario ketiga. Mengapa secara khusus saya
soroti, karena ini membawa risiko dan konsekuensi yang tidak kecil. Baik secara
politik, hukum, sosial maupun keamanan. Juga berdampak pada citra Amerika
Serikat di dunia.
Sebagai sahabat Amerika, saya sungguh tidak berharap skenario
ketiga ini yang terjadi. Atau opsi untuk menggunakan kekuatan militer (US Army)
ini yang akan ditempuh. Kecuali kalau situasinya memang sangat gawat dan
keamanan nasional negara itu benar-benar terancam.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang ada keinginan dan
rencana Presiden Trump untuk megerahkan kekuatan militer itu? Jawabannya “ada”.
Secara eksplisit Trump mengatakan itu. Dia juga mengatakan bahwa pengerahan dan
penggunaan militer akan mengatasi masalah secara cepat. Barangkali Trump kecewa
karena para Gubernur dan Walikota dinilai gagal untuk menguasai (Trump
menggunakan istilah “dominate”) jalan-jalan di mana unjuk rasa terjadi, baik
yang damai (peaceful) maupun yang tidak. Karenanya, tentara harus dikerahkan
untuk menjalankan misi itu.
Sesuai ingatan saya, sepertinya belum pernah Amerika menurunkan
militernya untuk menghadapi rakyatnya sendiri. Pengerahan tentara dalam
mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban yang dulu sering dilakukan di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, justru kerap dicerca oleh Amerika
dan negara-negara barat yang lain. Katanya, demokrasi tidak begitu. Rule of law
yang benar juga tak begitu. Gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat itu
masih menjadi domain polisi. Bukan tentara. Kalau sekarang justru Amerika yang
melakukan, ini akan menjadi “breaking news”.
Ingat saya, ketika terjadi gelombang protes di akhir tahun
1960-an hingga awal 1970-an (menentang pelibatan tentara Amerika di Vietnam),
tentara reguler juga tak diturunkan. Yang dikerahkan sepertinya adalah National
Guard. Menghadapi gelombang unjuk rasa yang marak di banyak kota waktu itu juga
hampir tidak terjadi bentrokan yang membawa korban jiwa.
Pertanyaan berikutnya, sungguh seriuskah Presiden Trump hendak
menggunakan kekuatan militer ini? Kalau kita ikuti rekam jejaknya, sangat
mungkin Trump akan melakukan itu. Kita mengamati, apa yang dikeluarkan Trump
melalui cuitan di twitternya, beberapa saat kemudian menjadi kenyataan. Tapi
khusus keadaan sekarang ini, mungkin pertimbangan Trump lebih mendalam. Dia
pasti tahu risiko dan harga yang harus dibayar kalau opsi militer ini yang
dijalankan.
Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, saya hanya
khawatir kalau Trump salah hitung. Miscalculate. Maksud saya, bagaimana kalau
justru perlawanan para pengunjuk rasa itu kian menguat dan membesar. Makin
nekat.
Melalui siaran televisi, saya amati mulai ada spanduk baru yang
diusung. Yang sudah kita ketahui misalnya berbunyi “No Justice, No Peace”, atau
“Black Lives Matter”. Yang baru menurut saya ada yang berbunyi “Time for Fear
is Over”. Saya tidak tahu apakah kata-kata terakhir itu menyiratkan bahwa akan
makin keras.
Yang berbahaya jika sikap “keras” Trump berhadapan dengan sikap
pengunjuk rasa yang makin militan. Benturan yang lebih besar pasti
terjadi.
Sementara itu, saya mengamati ada pihak yang kurang nyaman
dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut
kemarahan masyarakat yang sedang marah itu. Misalnya, kata-kata “when the
looting starts, the shooting starts”. Juga pernyataan yang menyalahkan para
Gubernur dan Walikota sebagai lemah dan tak mampu mengatasi masalah.
Bukan hanya merasa tidak nyaman, sebagian pemimpin daerah itu
juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan.
Artinya, Trump juga menghadapi “pembangkangan” dari sejumlah pemimpin
daerah.
Saya tidak tahu apakah rakyat Amerika punya militansi dan
kenekatan yang tinggi manakala harus melawan pemerintah yang dinilai tidak
adil. Seperti perlawanan rakyat yang terjadi di negara-negara berkembang.
Sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin, sekuat apapun dia,
yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki dia jatuh. Sebesar
apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah
bergerak, tumbang juga mereka. Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal
terjadi di Amerika.
Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di
negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili
mayoritas rakyat Amerika.
Ketika Politik Pilpres “Involved”
Para pengamat politik tahu, baik internasional maupun di Amerika
sendiri, situasi di negara itu khas. Lima bulan lagi akan dilaksanakan
Pemilihan Presiden. Trump tentu sangat ingin terpilih lagi. Ini tentu sah bagi
seorang petahana. Sementara, penantangnya Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan
Trump. Perhatikan komentar dan kritik Biden terhadap penanganan aksi-aksi
protes yang dilakukan Trump saat ini.
Trump diibaratkan tengah bersiap untuk memasuki kembali ring
tinju, tapi kakinya diberati oleh 3 pemberat. Rapor Amerika dalam menangani
pandemi Covid-19, ekonomi yang suram dan gelombang unjuk rasa besar. Ini pasti
menjadi handicap yang besar bagi Trump. Kecuali, jika dia mampu mengubah krisis
itu menjadi peluang. Tapi bagaimana caranya?
Saya pribadi harus berhati-hati dalam membuat prediksi, apakah
Trump akan terpilih kembali atau tidak. Bagi negara yang rakyat dan politiknya
sangat terbelah saat ini (divided), belum tentu Trump kalah. Celah ini
barangkali yang akan digunakan Trump untuk kepentingan politiknya.
Trump tahu mana yang minoritas dan mana yang mayoritas di
negaranya. Bisa saja aksi protes yang umumnya dilakukan oleh komunitas kulit
hitam ini justru akan digunakan untuk membangun kubu yang “di seberang”.
Ujungnya rasisme juga. Tesisnya kembali menciptakan “division” dan bukan
“unity”. Politik pembelahan atas dasar identitas. Dalam politik, untuk mencapai
kemenangan seolah cara apapun halal, meskipun dianggap tidak etis. The ends
justify the means.
Namun, strategi begini belum tentu akan dilakukan Trump guna
memenangkan pemilihan presiden bulan November 2020 mendatang. Tapi,
bagaimanapun ada kemungkinan dan logikanya.
Saat ini orang nomor satu di Amerika itu sedang menghadapi
permasalahan yang pelik dan tantangan yang berat. Memang pemimpin sejati akan
diuji apakah dalam menghadapi situasi krisis, dia bisa berpikit jernih serta
bisa mengambil keputusan dan tidakan yang tepat. Sangat mungkin Trump bisa ke
luar dari krisis besar ini. Satu-satunya tantangan berat yang dihadapi, menurut
saya, adalah jika Trump dihinggapi perasaan takut. Fear.
Apa yang saya maksud dengan “fear” dalam kaitan ini?
Bagi seorang yang tengah memegang kekuasaan, biasanya dia takut
kalau kekuasaan itu hilang. Lost of power. Bagi seorang “incumbent” yang akan
melakukan pemilihan umum lagi, dia takut kalau tak lagi terpilih. Alias kalah.
Rasa takut akan kalah yang tinggi bisa menuntun pikiran dan
tindakan yang salah. Salah satu godaan yang dihadapi orang yang demikian adalah
tindakan menyalah gunakan kekuasaan. Abuse of power.
Saya sering menyampaikan apa yang pernah dikatakan oleh John
Steinbeck tentang kaitan takut dengan kekuasaan. Steinbeck mengatakan bahwa
sesungguhnya kekuasaan itu tidak “corrupt”. Tetapi justru rasa takutlah yang
mendorong disalahgunakannya sebuah kekuasaan. Ketakutan akan kehilangan
kekuasaan itulah yang mendasarinya. (Power does not corrupt. Fear corrupts ...
perhaps the fear of loss of power).
Trump, menurut saya tak harus tergoda dengan penggunaan
kekuasaan yang tidak amanah ini, jikalaupun dia merasa takut kalah. Sebagai
tokoh bisnis dan kini politisi, sebenarnya dia punya kemampuan untuk menang
dalam sebuah kompetisi. Dia pernah menang melawan Hillary Clinton, kandidat
yang kuat, di tahun 2016, karena cukup cerdik dan piawai dalam
berkampanye.
Demikian juga dalam menangani 3 persoalan dan tantangan berat
saat ini ~ pandemi, ekonomi dan protes sosial ~ Trump tetap punya peluang untuk
sukses. Banyak cara yang dapat dipilih. Karenanya, ada baiknya dia ingat
apa yang dikatakan oleh Steinbeck tadi.
Akankah Terjadi Perubahan di Amerika?
Banyak yang terharu mendengarkan ucapan saudara kandung mendiang
George Floyd. Dia mengajak agar unjuk rasa menyusul tewasnya saudaranya itu
tetap dilakukan secara peaceful. Tertib dan damai. Hindari kekerasan.
Dia juga mengatakan bahwa perjuangan besar mereka, kaum kulit
hitam, adalah terjadinya perubahan. Bahasa kaum minoritas itu adalah Amerika
harus berubah dalam memandang dan memerlukan warga kulit hitam. Rasisme harus
dihentikan. Rasisme telah terjadi secara sistematik dan struktural. Mereka juga
menuntut agar kebrutalan polisi jangan terus terjadi. Kultur buruk itu harus
diubah.
Barangkali yang disuarakan oleh para pengunjuk rasa saat ini ya
itu. Cuma masalahnya menjadi ruwet karena protes-protes itu disertai pula
dengan kekerasan, pembakaran dan penjarahan. Ekses inilah yang bisa mengganggu
kemurnian perjuangan yang bertemakan hak asasi dan keadilan itu.
Apakah kata-kata saudara Floyd itu bisa menjadi kenyataan?
Perubahan akan terjadi. Bangsa Amerika sendirilah yang bisa menjawabnya.
Menarik apa yang disampaikan oleh mantan Presiden George W. Bush
beberapa jam yang lalu. Bush jarang mengeluarkan pernyataan politik. Apalagi
Bush dan Trump berasal dari partai yang sama, Partai Republik. Bush mengatakan
bahwa dia dan Laura (mantan Ibu Negara) sedih dengan tewasnya George Floyd
dengan cara seperti itu.
Di bagian lain dari pernyataannya, Bush juga mengatakan bahwa
bukan saatnya bagi Amerika untuk “menguliahi”, tetapi saatnya untuk mendengar.
Dia juga menggarisbawahi bagaimana Amerika bisa menghentikan rasisme yang
sistemik dalam kehidupan masyarakatnya.
Menurut saya, Bush berbicara dari hatinya. Dari nuraninya.
Beyond politics.
Pertanyaannya, apakah pernyataan Bush ini pertanda bahwa mungkin
saja terjadi angin perubahan di negeri itu. Itulah yang kita tidak tahu.
Sedikit banyak saya mengenal Presiden Bush. Mungkin banyak yang
mengira sosok yang teguh dan dianggap “keras” itu sulit berempati. Dia justru
sebaliknya.
Saya ingat ketika istri tercinta Ani Yudhoyono sedang dirawat di
rumah sakit, Bush dan Laura mengirim surat yang penuh empati dan mendoakan
kesembuhan Ani. Ketika Ani berpulang ke Rahmatullah, mereka kembali mengirim
surat kepada saya sebagai ucapan bela sungkawa.
Kembali kepada seruan dari banyak pihak agar ada perubahan di
Amerika, semua harus bersabar menunggunya. Belum bisa diduga apakah akan ada
tonggak sejarah baru di negeri yang selama ini gigih menyerukan nilai-nilai
demokrasi, hak asasi manusia dan rule of law itu. Apalagi jika mengharapkan
titik balik (turning point) menyangkut hubungan yang lebih baik antara
minoritas dan mayoritas, utamanya antara kaum kulit hitam dan kulit putih.
Saya juga tidak tahu apakah Amerika memerlukan “nation building”
yang baru. Misalnya diawali dengan dialog yang tulus antara kaum minoritas dan
mayoritas. Antara kulit hitam dan kulit putih. Entahlah. Saya harus berhenti di
sini. Takut salah.
Satu hal yang ingin saya katakan menutup artikel ini, seiring
dengan perkembangan zaman, mungkin ada keperluan Amerika untuk menggalakkan
lagi dialognya. Baik dialog yang sifatnya internal (dialog kebangsaan) maupun
dialog negara besar itu dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Akankah?
Only history will tell.
Cikeas, 3 Juni 2020.
☆☆☆ Emil F Simatupang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !