Bekasi, Info Breaking News –
Yasser, putra almarhumah Pahra, salah satu warga RT 001/RW 026, Kampung Karang
Jaya, Desa Karang Satria, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi blak-blakan
mengungkap nasib sang Ibu yang dinyatakan meninggal dengan status positif
Covid-19, namun nyatanya hanya kebohongan belaka.
Yasser yang dihubungi, Minggu
(7/6/2020) pun akhirnya menjelaskan kronologis kejadian yang bermula pada hari
kedua Lebaran dimana Ibunya mengaku badannya meriang dan nyeri serta linu.
Keesokan harinya di hari
ketiga Lebaram, Yasser pun membawa Ibunya ke Klinik Rawa Kalong. Dari hasil
laboratorium, sang Ibu disebut mengidap penyakit tifus (tipes) dan DBD. Yasser
dan keluarga pun segera berinisiatif membawa Pahra ke Rumah Sakit Awal Bros
yang berlokasi di Jalan KH. Noer Ali, Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan
Bekasi Barat, Kota Bekasi.
“Setelah itu Ibu saya langsung
dapat tindakan rapid test, suhu tubuh dicek, masih normal, masih 37 awalnya
suhu tubuh ibu saya. Untuk sumber pembiayaan, dicover oleh BPJS. Kita
mendaftarkan dan diterima langsung oleh pihak Rumah Sakit Awal Bros dengan
BPJS," ungkapnya.
Meski sempat menunggu beberapa
jam terkait pendataan BPJS, pihak Rumah Sakit langsung menangani Pahra. Usai
menjalani rapid test, almarhumah kembali melakukan tes laboratorium.
“Hasilnya benar, Ibu saya itu
tipes dan DBD bukan positif corona. Dan hasil dari rapid test itu Ibu saya
non-reaktif Covid-19. Pada saat itu, dari bagian Rumah Sakit petugas laboratorium
bilang Ibu memang positif tipes dan DBD dan juga ada seperti cairan di paru-paru
atau flek lah," terangnya.
Namun, yang selanjutnya
dilakukan pihak RS justru menimbulkan tanda tanya. Yasser mengaku heran karena
hari itu juga Ibunya malah diminta masuk ke ruang isolasi, yang jelas-jelas
hanya untuk mereka yang positif corona. Saat ditanya, pihak RS menjawab hal itu
dilakukan guna menyembuhkan flek yang ada di paru-paru sebelum dipindahkan ke
ruang rawat inap.
“Awalnya tidak bisa ditemani
tapi karena Ibu non Covid-19, akhirnya boleh ditungguin saya dan adik selama
dua hari. Malam pertama gak boleh, malam kedua dan ketiga boleh, hingga
akhirnya Ibu meninggal dunia,” katanya
“Cuma satu kejanggalan buat
kita (keluarga korban, red), memang almarhumah Ibu meninggal dunia di ruang
isolasi tersebut, tapi kenapa untuk hilangkan flek saja harus masuk ruang
isolasi? Padahal yang urgent dan daruratnya itu kan tipes dan DBD? Ibu hari
pertama masuk ruang isolasi seperti orang depresi, karena tidak ada yang menemani
sampai-sampai Ibu saya membawa infusan ke perawat sambil minta pindah dari
ruang isolasi. Apalagi pihak petugas medisnya menggunakan baju dilengkapi Alat
Pelindung Diri (APD) lengkap semuanya, jadi ketakutan Ibu saya," beber Yasser.
Menurutnya, sang Ibu harusnya
banyak istirahat karena tengah sakit tipes dan DBD. “Di ruang isolasi malah
tidak bisa istirahat, kan janggal!” tuturnya heran.
"Terus, Ibu saya sempat
ngomong ke Adik, bawa saya pulang kalau tidak saya bisa mati di sini. Di hari
ketiga, jam setengah empat kondisi Ibu drop dan jam empat lewat lima belas
menitan Ibu saya sudah tidak bisa tertolong dan akhirnya meninggal dunia dengan
keterangan tipes dan DBD. Di surat kematian Ibu saya yang ditandatangani oleh
dr. Viktor status Ibu saya keterangannya tipes dan DBD bukan Covid-19. Tapi
waktu mau dibawa pulang ke rumah duka di rumah kami malah ditahan oleh pihak
Rumah Sakit. Prosesi pemakamam katanya harus mengikuti Protokoler Pemakaman
Covid-19. Di sini kami merasa ganjal. Kenapa mesti Covid? Padahal Ibu saya
negatif,” tegas Yasser dengan nada kesal.
Yasser dan keluarganya pun
bingung. Di tengah suasana berduka, akhirnya keluarga setuju memakamkan almarhumah
di TPU Mangun Jaya dengan Protokoler Covid-19.
"Saya sempat menanyakan,
dari awal mendaftar kan kita pakai BPJS kenapa tidak BPJS-nya yang dimajukan?
Kata pihak Rumah Sakit, BPJS langsung dicover oleh pihak Kemenkes, jadi anggaran
Kemenkes katanya. Kalau emang memaksakan untuk Ibu dibawa pulang katanya, Bapak
dikenakan biayanya umum jadi harus bayar Rp 20-30 juta. Saya bingung, terus fungsi
BPJS itu apa? Sampai hari ini kita tidak menerima hasil salinan rekapitulasi
prosesi pengobatan Ibu saya, seperti obat apa saja yang dikonsumsi oleh Ibu
saya selama menjalani pengobatan di RS Awal Bros itu tidak ada. Waktu mau
membayar secara umum, RS minta Surat Pernyataan. Karena kita masih galau dan
keluarga belum siap, alhasil kita mengikuti prosesi itu walau hingga saat ini
hati kecil saya bertanya-tanya kemana BPJS," lanjutnya.
Lebih lanjut, Yasser merasa
iba dengan sanak keluarganya yang tinggal bersama-sama dengan dia. Pasalnya, akibat
kejadian ini, keluarganya dijauhi warga sekitar sampai-sampai tak ada yang
berani keluar dan hanya mengurung diri di rumah.
"Apalagi Ibu tokoh
masyarakat wanita di sini, panutan para Ibu-ibu di sini. Sekarang masyarakat
anggap Ibu saya benar-benar positif Covid-19,” ujar Yasser.
Yasser pun meminta agar
pemerintah melalui Dinas terkait dapat mengusut perkara ini dan memeriksa RS
yang bersangkutan.
“Atas nama keluarga kami
meminta kepada Dinas terkait, pihak BPJS terlebih Anggota DPRD Kota Bekasi
untuk melakukan Sidak ke RS Awal Bros," pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan,
pihak Rumah Sakit Awal Bros masih bungkam dan menolak memberikan pernyataan. ***Candra Wibawanti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !