Jakarta, Info Breaking News - Guna menghindari semakin maraknya perkawinan anak di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merekomendasikan adanya pelatihan bagi hakim khusus untuk mengadili perkara anak, mulai dari pengadilan agama hingga Mahkamah Agung (MA).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengadilan Agama (Badilag) menunjukkan prevalensi perkawinan usia anak-anak pada tahun 2019 mencapai 2019. Sementara target tahun 2024, perkawinan usia anak-anak harus dapat diturunkan menjadi 8,74%.
“Ini menjadi pekerjaan rumah besar kita. Kemudian pascadikeluarkannya UU Perkawinan, angka permohonan dispensasi perkawinan meningkat. Saya kira itu wajar, karena batas umur nikah naik dari 16 tahun ke 19 tahun,” ungkap Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, Sabtu (13/2/2021).
Rita melanjutkan, angka permohonan dispensasi kawin dari Januari-Oktober 2019 mencapai 14.000. Hal serupa juga terjadi November-Desember. Sementara pada Januari hingga Juni 2020 mencapai 49.684, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 29.259.
Rita mengungkapkan, pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan adalah melakukan pengawasan di analisis putusan dispensasi kawin. Karena banyak orang tua calon pasangan kawin usia anak-anak hanya tahu permohonan dispensasi kawin ditolak, tetapi tidak tahu syarat administrasinya yang harus dipenuhi.
“Prosesnya itu sebenarnya prospektif hakimnya. Jadi kalau di umum peradilan pidana ada hakim anak, dan di perdata ada hakim dispensasi kawin itu sedikit sekali. Tahun ini jatahnya hanya 100 hakim. Itu jadi peer. Karena di perkawinan anak itu, ada hakim yang tidak meminta surat keterangan hamil kalau memang hamil. Bukti itu kan harus ada, tidak bisa hanya kata orang,” paparnya.
Selain itu, fasilitas ruang pengadilan agama untuk dispensasi kawin antara orang tua dengan anak yang tidak dipisah juga menjadi salah satu masalah. Kendala lainnya ialah putusan hakim yang dinilai KPAI sangat lemah. Hanya karena alasan akil baligh yang diartikan sudah bisa mengurus diri, seringkali ditemukan KPAI dalam dispensasi kawin usia anak.
“Ini masih sangat lemah menolak dan mencegah dispensasi kawin di level pengadilan. Maka KPAI merekomendasikan pelatihan untuk hakim. Biar memiliki perspektif perlindungan anak,” kata Rita.
Oleh karena itu, Rita mengaku pihaknya mendukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang sedang membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin. Karena RPP ini merupakan bagian untuk memaksa melakukan upaya pencegahan selama proses dispensasi kawin dilakukan.
“Jadi kalau ditolak (dispensasi kawin) kemudian mitigasinya seperti apa, dan kalau dikabulkan juga mitigasinya seperti apa. Itu yang diharapkan KPAI dapat diatur dalam RPP Dispensasi Kawin,” tuturnya.
Dalam RPP Dispensasi Kawin, KPAI mengharapkan dapat dimasukkan tindakan pencegahan. Sebelum mendaftarkan dispensasi kawin, harus ada pencegahan dan pendampingan agar mereka tidak melakukan perkawinan. Harus ada asesmen psikologis dan proses pendampingan untuk menyadarkan calon pasangan dan orangtua.
“Mitigasi ini yang masih lemah menurut saya. Jadi kalau ditolak tetap harus ada pendampingan. Kalau diterima, mitigasinya tidak ada, seperti aspek kesehatan, anak tidak putus sekolahnya,” lanjut Rita.
Tidak hanya itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak-anak tidak hanya sampai di tingkat kabupaten/kotamadya saja. Namun, diharapkan dapat menyentuh ke tingkat RT, RW dan keluarga. Karena untuk pernikahan di kampung pasti akan memanggil pihak RT, RW dan lurah atau kepala desa.
“Ini menjadi bahan penting, bagaimana sosialisasi sampai kepada pengambil kebijakan. Pemda juga memiliki kewajiban melakukan perlindungan anak,” tandasnya. ***Winda Syarief
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !