Prof. Romli Atmasasmita, Pakar Hukum Pidana
Jakarta, Info Breaking News -Gagalnya sejumlah penyidik serta staf pegawai KPK dalam ujian itu Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sehingga berujung pada penonaktifan 75 pegawai KPK terus memanas dan menjadi polemik publik. Tidak sedikit aktivis atau pakar hukum yang mengkritik penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal menurut Pakar Hukum Pidana Prof Romli Atmasasmita keputusan penonaktifan itu sudah tepat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.. Romli membela sikap Ketua KPK Firli Bahuri terkait penerbitan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Tafsir hukum pakar yang menilai SK Pimpinan KPK melanggar UU ASN adalah jelas keliru dan ceroboh," ujar Romli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/5/2021).
Guru Besar Hukum Pidana Unpad ini juga berpendapat, setiap pegawai KPK yang merasa dirugikan atas keputusan Pimpinan KPK tersebut memiliki hak untuk menempuh jalur hukum yang berlaku.
"Pascaputusan MK RI Nomor 70/ PUU- XVII/2019 telah mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2019 termasuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Tidak ada alasan lagi bagi siapa pun memvonis KPK di bawah Firli Cs lemah," jelasnya.
Romli mengatakan, masih terbuka kesempatan kerja yang luas bagi pegawai KPK yang tidak lolos ASN seperti mantan pimpinan dan penyidik KPK. Dia memberikan contoh ada mantan pegawai KPK yang menduduki jabatan Eselon I di kementerian tertentu.
"Yang terberat bagi Pimpinan KPK ke depan dihadapi Firli Cs adalah selain tugas lain, melaksanakan ketentuan Pasal 6 huruf f, yaitu asas penghormatan terhadap hak asasi manusia yang harus diartikan bahwa independensi bukan tanpa batas, inilah kelebihan UU KPK Tahun 2019 daripada UU KPK 2002," tuturnya.
Sehingga, lanjut dia, KPK harus lebih ekstra hati-hati melaksanakan tugas dan wewenangnya.
"Karena asas perlindungan HAM (Pasal 6 f) dapat digunakan sebagai alasan permohonan praperadilan selain yang telah ditetapkan dalam Pasal 77 KUHAP dan penetapan tersangka. Intinya bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah halusinasi, kekuasaan tanpa hukum adalah anarki," terangnya.
Dia pun melihat polemik alih status pegawai KPK menjadi ASN di media sosial belakangan ini semakin gencar melawan keputusan panitia TWK.
"Kritik mulai soal-soal tes sampai dengan integritas pegawai yang tidak lolos dan kiprahnya dalam memberantas korupsi. Logika yang dibangun bahwa kiprah dan sukses memasukkan koruptor ke penjara dimaknai sebangun dengan pemahaman wawasan kebangsaan adalah sangat keliru," katanya.
"Setelah apa yang terjadi pada HTI dan FPI akhir-akhir ini. Kita tidak boleh mentolerir lagi terhadap calon ASN atau ASN dengan landasan paradigma yang masih ragu terhadap persatuan bangsa, tanpa ada perkecualian siapa pun dia," pungkasnya.
“Jadi, yang membolak-balikkan logika ini apalagi dengan tanpa malu menyatakan diri sebagai sosok berintegritas atau hebat, adalah sikap pengecut yang sangat memalukan,” tegasnya.
Di dalam masa krisis identitas yang melanda bangsa ini belakangan, tambah Romli, semua pihak yang punya kepedulian pada NKRI seharusnya waspada.*** Armen FS
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !