JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Tokoh ulama dan cendekiawan Indonesia, Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dibersihkan dari agenda tersembunyi sejumlah pihak yang memiliki kepentingan pragmatis.
“Kalau dibiarkan, rusak itu KPK. Pemberantasan korupsi menjadi mandek,” kata Ahmad Syafii Ma’arif, Senin (14/6/2021).
Untuk melakukan pembersihan internal, maka KPK harus mampu mencipatkan sistem yang kuat. Hal ini agar pemberantasan korupsi bisa berjalan sesuai harapan.
Menurutnya, sistem yang dibangun KPK tidak boleh menciptakan kondisi yang sangat tergantung dari satu orang dan atau sekelompok orang.
Presiden Indonesia, Joko Widodo, menurut Ahmad Syafii Ma’arif, selaku Kepala Negara, memiliki otoritas memperbaiki kinerja KPK, agar terbangun system yang kuat di dalam pemberantasan korupsi.
“Sistem yang kuat di dalam tubuh KPK, menjadi kunci utama di dalam pemberantasan korupsi,” paparnya.
Di kesempatan lain, Chairul Iman, mantan penyidik di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, mengatakan KPK kini telah melenceng dari pendiriannya setelah berjalan selama 17 tahun, yaitu sebagai lembaga ad hoc untuk memperkuat peran Polisi dan Jaksa dengan mengedepankan fungsi pencegahan.
“Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tujuan keberadaan KPK adalah pencegahan, dan penindakan mengedepankan fungsi Polisi dan Jaksa. Sekarang, tugas KPK di bidang pencegahan, merekomendasikan pembatalan produk perundang-undangan yang membuka peluang korupsi, kolusi dan nepotisme, sama sekali tidak dilakukan,” ujar Chairul Iman.
Ia mengatakan jika dilihat dari aspek penindakan, prestasi KPK sangat mengecewakan. Pada tahun 2019, kasus korupsi ditangani kejaksaan 109 kasus, polisi 100 kasus dan KPK hanya 62 kasus. Tahun 2020, jaksa menangani 259 kasus, polisi 170 kasus dan KPK hanya 15 kasus.
“Tidak ada yang bisa diharapkan dari fungsi KPK dalam kondisi sekarang. Tentang dugaan pelanggaran hak azasi manusia dalam melakukan pemeriksaan tersangka dan saksi, harus diusut tuntas. Jika memang benar, ini pelanggaran,” tuturnya.
Ketua Badan Pengurus Setara Institut, Hendardi, mengatakan KPK sama sekali tidak dilibatkan di dalam menyelenggarakan TWK. KPK-RI hanya menerima hasilnya pada 17 April 2021, tapi kemudian bocor ke luar sehingga harus diselusuri.
Diungkapkan Hendardi, TWK menjadi sangat penting untuk menentukan apakah seseorang layak menjadi ASN sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK, di tengah-tengah upaya Pemerintah membersihkan paham intoleran, radikal, ekstrimisme dan terorisme.
Materi TWK, tidak sulit, karena yang ditanya adalah tentang ideologi Pancasila yang berlandaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
“Kalau tidak lulus TWK, sebagaimana 75 karyawan dan penyidik tidak lulus WK, berarti tidak bisa menjadi ASN. Aturannya sudah jelas. Kesetiaan terhadap ideology Pancasila, persyaratan mutlak bagi seorang calon ASN,” kata Hendardi.
Dijelaskan Hendardi, kelompok Novel Baswedan memang sejak awal selalu melakukan manuver ketika muncul upaya membersihkan lingkungan internal dari indikasi ketidakberesan di KPK. Di antaranya, mempersoalkan Presiden Joko Widodo, memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, terlibat di dalam meneliti calon komisioner sebelum namanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
“Sasaran serangan mereka fokus kepada satu orang yaitu Firli Bahuri dari unsur Polri. Padahal semua keputusan di lingkungan KPK, ditempuh melalui diskusi bersama,” paparnya. *** Lisa Afrida
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !