JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Hukum tabur dan tuai sesungguhnya sangat berlaku kepada setiap orang didalam perjalanan hidupnya, dan siapapun bisa memahami mengapa cerita pilu seorang Novel Baswedan yang awalnya merupakan anggota Polri yang memiliki catatan hitam karena pernah dinyatakan sebagai seorang tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap pencuri sarang burung walet di Lampung itu kemudian kasus tenggelam ditelan alam alias tidak sampai tuntas diadili karena namanya terlanjur beken sebagai penyidik senior KPK yang telah menangkapi banyak seniornya seperti Jenderal Susno Duaji, Irjen Djoko Susilo dan bahkan nyaris memenjarakan Jenderal Budi Gunawan yang kemudian dibebaskan oleh hakim tunggal Sarpin di PN Jaksel.
Diketahui dari 1.351 pegawai dan penyidik KPK, sebanyak 75 orang di antaranya, termasuk Novel Baswedan dinyatakan tidak lulus TWK.
“Mereka merusak sistem. Di institusi milik pemerintah, tidak boleh ada bawahan yang bisa seenaknya mendikte atasan,” kata Romli Atmasasmita, Kamis (24/6/2021).
Prof Romli mengatakan, Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri bersama 4 komisioner lainnya, harus mampu membangun system di dalam pemberantasan korupsi, sehingga sebuah lembaga pemberantasan korupsi tidak boleh bergantung pada segelintir kelompok dan tidak boleh dikendalikan sebuah kepentingan pragmatis.
Romli mengaku curiga ada penumpang gelap di balik polemik alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pria mantan anggota Perumus Undang-Undang KPK ini berpandangan, penentuan kelulusan TWK itu sudah sesuai aturan main atau ketentuan Undang-Undang. Sehingga, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan.
“Kasus 75 eks KPK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: ASN. Tidak ada yang keliru,” tuturnya.
Romli menduga, reaksi pegawai KPK yang tidak lulus lebih karena sudah merasa berjasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Mereka merasa tidak perlu ikut tes,” kata Romli.
Sejak revisi undang-undang KPK kelompok Novel Baswedan memang aktif menolak karena ASN dibatasi usia 35 tahun dan paling tinggi 58 tahun. Sementara untuk jabatan deputi maksimal 60 tahun.
“Di antara mereka ada yang lewat batas waktu usia tersebut,” ungkapnya.
Pegawai KPK yang masuk di dalam kategori 75 orang yang tidak lulus TWK, sudah nyaman menikmati privilege atau hak istimewa sejak tahun 2003 sampai dengan 2020 atau selama 17 tahun sebagai non-ASN dengan segala fasilitas tanpa ada yang mengawasi.
“Ada pihak eksternal yang jadi ‘penumpang gelap’ dalam penolakan tersebut karena kepentingan pribadi, politik dan golongan,” ujar Romli.
Pengaduan pegawai KPK yang tidak lolos TWK ke sejumlah lembaga seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Agung hingga Mahkamah Konstitusi adalah hak sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi.
Romli menilai, seharusnya sebagai penegak hukum dan paham hak sesuai konstitusi hanya ada dua mekanisme yang dibenarkan menurut undang-undang, yaitu ke Peradilan Tata Usaha.
Kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang: KPK, terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang mereka persoalkan adalah Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 tahun 2020, yang seharusnya diuji ke Mahkamah Agung. *** Emil F Simatupang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !