JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Ketika politik menguasai hukum, lenyap sudah perjuangan akan keadilan dan kebenaran.
Cita-cita utama ditumbangkannya Orde Baru ke Orde Reformasi adalah katanya, karena pemerintahan presiden Soeharto, korup. Tapi buktinya pemerintahan Soeharto lebih aman, tidak terjadi huru hara politik, penanaman modal asing berkembang cepat, bebas dari para oknum provokator yang ingin ganti pemerintahan melalui orator orator provokasi mereka. Para Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah, pengusaha bisa bebas melakukan kegiatan, tanpa khawatir akan terjerat kasus pidana.
Lahirnya Orde Reformasi menjamin “persamaan perlakukan bagi semua orang di depan hukum”. Praktiknya: tidak demikian. Asas “equality” tidak berlaku bagi warga binaan, termasuk si miskin yang memperjuangkan keadilan mereka.
UU Nomor 28 Tahun 1999 katanya jadi bukti upaya negara menciptakan pemerintahan bersih, bebas dari KKN. Menyusul, ada UU Tipikor, UU Nomor 31/1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, yang sifatnya ad hoc.
Karena sifatnya yang ad hoc, lahirnya untuk memaksimalkan kinerja kepolisian dan kejaksaan, maka para penyidik dan penuntut umum KPK semuanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Tugas KPK dalam penyelidikan dan penyidikan adalah untuk kasus kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya di atas 1 miliar rupiah.
Tapi sayang, KPK di bawah pimpinan Agus Rahardjo Cs malah menjaring gratifikasi yang berjumlah hanya sekitar 5 juta rupiah, seperti yang dialami oleh kurang lebih 40 anggota DPRD Malang.
Ketentuan menjaring korupsi di atas 1 miliar rupiah dilanggar seenaknya oleh KPK, dan tak seorang pun peduli akan pelanggaran tersebut. Bahkan para hakim penganut restorative justice, menghukum mereka yang hanya menerima gratifikasi sekitar 5 juta rupiah dengan lama hukuman sekitar 3-4 tahun. Bukannya untung, sebaliknya negara dirugikan karena harus membiayai hidup mereka selama ditahan.
Penelitian saya di Sukamiskin menunjukkan banyak karyawan kecil di tingkat kelurahan harus mendekam di penjara minimal 4 tahun hanya karena menerima hadiah yang jumlahnya tak sampai Rp 10 juta. Bahkan dalam kasus Bakamla, seorang rekan polisi bernama Juli Amar yang menerima hanya 4 juta rupiah, harus dipenjarakan di Sukamiskin selama 2 tahun. Tentu peristiwa semacam ini adalah bukti buruknya penegakan hukum di Indonesia.
Mengapa? Andai kasus Bibit-Chandra yang lengkap atau P-21 dimajukan ke pengadilan, maka akan terbukti bahwa para komisioner KPK seperti Chandra Hamzah, Bibit, Jasin dan Ade Raharja menerima suap sekitar Rp 1 miliar. Sedangkan para penyidik KPK lainnya menerima suap sampai dengan Rp 400 juta, jauh di atas uang gratifikasi yang diterima oleh para anggota DPRD Malang, atau oleh para karyawan kecil di Kelurahan.
Mengenai perhitungan kerugian negara, hanya BPK yang punya wewenang menentukan kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU nomor 17/2003, nomor 1/2004 dan nomor 15/2004. Hal ini juga diakui dan dibenarkan oleh Ketua Mahkamah Agung maupun oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya: KPK selalu tidak mendasarkan kerugian negara berdasarkan undang-undang tersebut.
Masih hangat di ingatan, bagaimana di tahun 2018 silam KPK melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tujuan menganulir wewenang pengawasan DPR terhadap KPK. Merasa gugatan tersebut akan ditolak, KPK menarik gugatannya menjelang putusan.
Sebenarnya hasil temuan DPR dalam rangka pengawasan di tahun 2018 cukup untuk membongkar penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oknum-oknum KPK. Sayangnya temuan itu tenggelam begitu saja, tak didukung media.
Bahkan ketika UU Nomor 19 Tahun 2019 mewajibkan penyidik KPK untuk mengikuti tes kebangsaan, para Komisioner KPK kala itu, yakni saudara Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menggugat lahirnya UU tersebut yang berujung pada putusan akhir: Gugatan KPK ditolak.
Akibatnya sejumlah penyidik KPK yang tidak lulus tes kebangsaan, di bawah pimpinan Novel Baswedan, membuat kegaduhan hukum yang akhirnya kembali mengantarkan Novel Baswedan di bangku ASN Mabes Polri. Bukti runtuhnya penegakkan hukum, ketika politik menguasai dunia hukum.
MK lahir guna mengawasi pembentukan undang-undang yang bertentangan dengan UUD. Sebagai pengawal konstitusi, jika ada UU yang bertentangan dengan UUD, MK berhak menyatakan UU tersebut tidak memiliki hukum yang mengikat, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Sejak lahirnya otoritas Mahkamah Konstitusi, sudah cukup banyak undang-undang yang “asal bentuk”, dinyatakan oleh KPK, sebagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, karenanya pembentukannya dinyatakan tidak sah. Di samping itu, demi hukum acara yang terjadi di KPK ada beberapa putusan MK yang relevan bagi para tersangka KPK yang akan saya sebut disini, sekalipun putusan MK tersebut diabaikan oleh para penyidik, penuntut umum, bahkan oleh Hakim pemutus perkara.
Putusan MK nomor 33/PUU-XIV/2016: Jaksa tidak lagi berwenang sebagai pihak pada acara permohonan PK. Wewenang KPK berakhir setelah putusan in kracht, dimana terpidana telah menjadi warga binaan dibawah otoritas binaan Menkumham. Realitanya, setiap permohonan PK, Hakim memperbolehkan Jaksa untuk terlibat dalam permohonan PK.
Putusan PK nomor 34/PUU-XI/2013: Warga binaan boleh mengajukan PK lebih dari sekali. Dalam praktiknya, Ketua MA selalu menolak memeriksa PK kedua sehingga hak warga binaan untuk mengajukan PK lebih dari sekali telah dilanggar.
Putusan PK nomor 20/PUU-XI/2013: Sadapan bukan barang bukti. Nyatanya, KPK selalu menggunakan sadapan hasil editan sebagai barang bukti.
Putusan PK nomor 25/PUU-XIV/2016: Kerugian negara dalam kasus korupsi harus nyata sesuai hasil pemeriksaan BPK. Praktiknya: Kata “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor, dilenyapkan. Hilang karena kata “dapat” bisa menimbulkan multi tafsir. Bukan fakta hukum mengenai kerugian negara yang sebenarnya.
Selain sejumlah putusan MK di atas, banyak juga UU yang dilanggar. Contohnya UU Nomor 30 Tahun 2014 yang intinya sebelum pegawai negeri ditentukan sebagai pelaku korupsi, harus mengikuti proses pemeriksaan oleh pengawas internal. Temuannya bisa sebagai pelanggaran administrasi atau korupsi. Bila korupsi, baru saat itu lah KPK bisa mulai menyidik. Tapi nyatanya, hanya atas dasar sadapan atau laporan masyarakat, yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
Lihat saja kasus RJ Lino. KPK tak bisa temukan bukti adanya kerugian negara dari BPK. Namun, agar kasus terus bergulir, KPK “tabrak” undang-undang dan memeriksa sendiri perhitungan kerugian negara.
Yang lebih gila, saat almarhum Hakim Agung Artidjo masih menjadi Ketua Kamar Pidana Khusus di Mahkamah Agung, semua kasasi yang sampai di tangan beliau langsung divonis berat tanpa pertimbangan hukum.
Bukan hanya Ketua MK DR. Hamdan Zoelva, S.H. yang mengkritisi putusan-putusan Artijo, banyak pakar hukum lain yang sependapat. Saya sendiri melihat beberapa putusan Artidjo tanpa pertimbangan hukum sama sekali. Vonis Artidjo 10 tahun terhadap diri saya sama sekali mengabaikan bukti-bukti yang terungkap di pengadilan.
Terakhir saya membaca pernyataan eks hakim Syarifudin Umar, yang memberi kesaksian bahwa dia sendiri mendengar pernyataan hakim Artidjo, bila kasasi sampai ditangan Artidjo, pasti para terdakwa divonis berat tanpa pertimbangan hukum. Ia menyebut Artidjo memutus berdasarkan selera, bukan berdasarkan pertimbangan hukum.
Semenjak adanya gerakan deponeering yang dikomando oleh SBY, ulah KPK semakin menjadi-jadi. Media pun seakan bungkam, ogah mengomentari busuknya oknum-oknum KPK. Bahkan Novel Baswedan si pembunuh keji pun kasusnya tak berani diungkit media.
Sebagai praktisi yang sudah berkecimpung di dunia hukum selama lebih dari 50 tahun, saya harus dengan jujur menyatakan pendirian saya bahwa cita cita era reformasi dalam penegakkan hukum, jauh dari harapan.
Sebagai praktisi dan akademisi, semua kekacauan hukum di Indonesia hanya dapat saya bukukan untuk menjadi bahan kajian pemerhati hukum.
Saya tidak pernah merasa terpuruk sebagai warga binaan. Saya sadar saya dikirim ke sini karena dendam KPK terhadap diri saya.
Banyak oknum KPK yang seharusnya dipenjarakan. Mereka bebas oleh adanya campur tangan para penguasa politik yang mencampuri tegaknya hukum.
Buku-buku hukum yang saya terbitkan sekedar sebagai bahan telaah, khususnya bagi para rekan pengacara muda agar mengetahui bagaimana kita sama-sama punya kewajiban moral memperbaiki penegakkan hukum di Indonesia.
Kesimpulan: Rusaknya penegakkan hukum di Indonesia akibat dikotori unsur politik. Indonesia bukan lagi Negara Hukum. Mengapa? Hilangnya kepastian dan perlindungan hukum berdampak bagi merosotnya perkembangan penanaman modal di Indonesia, yang secara langsung berakibat juga pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Semoga masukan saya ini punya manfaat bagi perkembangan hukum selanjutnya.
(Artikel ditulis oleh Otto Cornelis Kaligis/OC Kaligis, editor: Candra Wibawanti)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !