Sebagai eks warga binaan, masyarakat kerap memberi label negatif bagi mereka yang kembali terjun ke masyarakat.
Orang awam tak menyadari bahwa banyak yang dijebloskan ke Lembaga Permasyarakatan hanya karena alasan politik tanpa merugikan uang negara sama sekali.
Salah satunya eks Gubernur Papua, saudara Barnabas Suebu, yang dihukum karena kebijakan yang dibuatnya selama menjabat sebagai Gubernur. Menjadi pertanyaan, kok kebijakan yang tak pernah terlaksana bisa dihukum? Terlebih lagi di ujung masa tugas beliau DPRD selaku mitra Gubernur memberi persetujuan atas segala tindakannya selama bertugas. Di saat saya bersama Pak Barnabas Suebu di Lapas, dia masih mempertanyakan mengapa dia dituduh korupsi tanpa adanya satu sen pun bukti kerugian negara.
Bayangkan bagaimana perasaan Gubernur yang pernah memperjuangkan Papua agar tetap menjadi bagian NKRI, tiba-tiba merasa dikhianati oleh NKRI melalui rekayasa peradilan?
Ia mengaku sangat menyesali tindakan pengadilan yang menzolimi dirinya. Ia dengan tegas menyatakan menyesal menjadi bagian dari NKRI.
Lain pula keluhan saudara Jero Wacik. Ia divonis karena Dana Operasi Menteri yang sudah jadi haknya. Kesaksian Mantan Presiden SBY serta mantan Wapres Jusuf Kalla yang tegas menyatakan Jero Wacik tidak merugikan negara dikesampingkan oleh pengadilan. Jelas Jero Wacik yang hidupnya bersahaja sangat dikecewakan oleh putusan itu.
Lalu ada pula kasus Irman Gusman. Suatu malam datang berkunjung seorang tamu yang merasa punya hubungan untuk satu kasus padahal beliau sama sekali tidak punya kewenangan dengan kasus tersebut. Sebagai Ketua DPD, Irman Gusman tidak berwenang memberi keputusan mengenai masalah gula, yang menjadi wewenang Kepala Bulog. Karena uang tersebut bukan suap, bukan gratifikasi, mestinya Irman Gusman sama sekali tidak bisa dijerat selaku tersangka korupsi. Bandingkan dengan gratifikasi Sekjen Mahkamah Konstitusi, saudara Janedjri M. Gaffar yang dibela oleh Ketua MK, Bapak Prof. DR. Mahfud MD.
Eks Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dalam bukunya yang bertajuk “Divonis Tanpa Bukti” memunculkan sejumlah argumentasi dan membuktikan bahwa memang sampai saat divonis, tak satu bukti kerugian negara yang dapat dimajukan jaksa untuk menuntut dan akhirnya memvonis Ridwan Mukti.
Selanjutnya, kasus Suryadharma Ali. KPK terus menuntut meski hasil pemeriksaan BPK sudah nyatakan kerugian negara adalah nihil. Bahkan KPK merekayasa barang bukti dengan hanya selembar potongan Kiswah. Kasus Suryadharma Ali adalah kasus politik, karena hubungannya tidak harmonis dengan komisi VIII DPR-RI.
Ada pula kasus Indar Atmanto yang bermula dari laporan Denny AK, Ketua LSM KTI, yang terbukti melakukan pemerasan terhadap Indosat seperti tertuang dalam putusan PN Jakarta Selatan tanggal 3 Oktober 2013. Denny AK divonis 1 tahun 4 bulan.
Dalam kasus Indar Atmanto, pihak aparat penegak hukum berkoordinasi dan mendengar pendapat dari Kementerian terkait, khususnya Kementerian Telekomunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) selaku regulator, pembina dan pengawas dalam pembangunan telekomunikasi di Indonesia. Kasus ini menjadi sangat menarik karena pihak kemenkominfo menilai tidak ada pelanggaran dalam kontrak kerja sama antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta peraturan terkait di bawahnya.
Menkominfo Tifanul Sembiring pun secara tegas mengatakan dalam surat resmi bahwa hubungan bisnis Indosat dan IM2 telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mereka yang bersatu di dalam demo damai membela Indar Atmanto mengikuti seruan keadilan Marthin Luther King Jr: “…Every step forward the goal of Justice requires sacrifice, suffering, and struggle; the tireless exertions and passionate concern of dedicated individuals….”
Seandainya hakim yang memutus mengerti duduk kasus dan mempertimbangkan pendapat Menteri serta para ahli dalam bidang komunikasi dan informatika, kasus ini mestinya tidak layak dibawah ke ranah pidana.
Kemudian, ada kasus eks Gubernur Sultra Nur Alam yang didakwa berdasarkan pasal 2 dan 3 Undang-undang Korupsi. Dalam perjalanan kasus ini, jaksa tak mampu membuktikan dakwaan semula yaitu pasal 2 dan 3 Undang-undang Korupsi. Harusnya Nur Alam bebas. Tak ingin hal itu terjadi, jaksa banting stir menjerat Nur Alam dengan pasal hubungan hutang piutang di luar tempus delicti karena terjadi sebelum Nur Alam menjabat sebagai Gubernur. Kekesalan Nur Alam dimuat dalam buku yang berisikan pendapat para ahli hukum pidana yang mengupas kasus korupsi Nur Alam dan mengapa jaksa mendakwa di luar dakwaan semula.
Tentu masyarakat juga tak asing dengan kasus Miranda Gultom. Saya membaca pembahasan pertimbangan unsur-unsur yang didakwakan oleh JPU. Mulai dari unsur memberi sesuatu yang tidak terbukti. Lalu unsur Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara juga tidak terbukti. Unsur karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan juga tidak terbukti. Selanjutnya, unsur penyertaan pun tidak terbukti. Dan semua dakwaan jaksa menurut pertimbangan hakim pemutus tidak terbukti.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya dengan tegas menguraikan bahwa semua dakwaan jaksa tidak dapat dibuktikan di persidangan. Anehnya hakim tetap memvonis Miranda Gultom bersalah. Bukti betapa semawrutnya penegakkan hukum di Indonesia.
Yang terakhir kasus Hotasi Nababan. Keterangan ahli Prof. Dr. Sofyan Djalil, SH., LLM. di bawah sumpah di persidangan memberikan pendapatnya sebagai berikut : ”Bahwa menurut ahli apa yang terjadi di PT MNA adalah murni risiko bisnis”, sehingga ahli ketika menjabat Menteri BUMN tidak menghukum atau menegur direksi PT MNA. Empat ahli lainnya masing masing Prof. Dr. Oemar Syarif Hiariej, SH.,MH.,LLM.; Prof. Dr. L.B. Supancana, SH.,MH.; Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH.,LLM.; dan Dr.Ir. Muhammad Said Dudu, hadir sebagai ahli di bawah sumpah, memberikan pendapatnya mendukung Hotasi Nababan.
Sayangnya sebagaimana lazimnya di Peradilan Tipikor, Majelis Hakim umumnya tidak pernah mempertimbangkan pendapat ahli yang dimajukan terdakwa. Hakim lebih cenderung berpihak kepada dakwaan dan tuntutan JPU KPK.
Saya banyak membongkar kasus yang sudah dinyatakan P-21, yang pelakunya tak lain adalah oknum-oknum KPK era Novel Baswedan yang gagal diadili. Sebaliknya, banyak korban rekayasa KPK yang dijadikan tersangka di era penyidik “taliban”, Novel Baswedan terkecuali kasus Bank Century yang berhenti sebatas pemeriksaan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Yang pasti dan tidak menjadi berita adalah kasus korupsi Bibit–Chandra Hamzah, kasus pidana Abraham Samad, kasus Bambang Widjojanto yang telah P-21, kasus Prof. Denny Indrayana yang telah selesai gelar perkara padahal kesimpulan penyidik bahwa unsur pidana yang dilakukan Prof. Denny Indrayana terbukti, dan Kasus Novel Baswedan yang telah P-21 dan siap diadili.
Lalu bagaimana dengan para oknum KPK yang menghubungi tersangka Nazaruddin eks Bendahara Partai Demokrat, untuk urusan bisnis?
Sangat berat beban pemimpin KPK saat ini. Bapak Firly Bahuri terus-menerus dihujat Novel Baswedan, sekalipun beliau berusaha memperbaiki citra KPK. Bahkan terakhir Novel Baswedan dkk masih melakukan upaya hukum ke Peradilan Tata Usaha Negara agar Novel Baswedan dapat kembali duduk sebagai penyidik KPK, tempat dimana Novel Baswedan sangat berkuasa karena bebas menyadap setiap orang yang menjadi target tersangka.
KPK yang tadinya hanya bersifat Ad Hoc, ternyata kewenangannya melebihi Polisi dan Jaksa. Di awal Orde Reformasi, tujuan utama pemerintah adalah pembentukan pemerintahanan yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini menghasilkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Sejalan dengan UU KKN, dibentuklah UU KPK yakni Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
Ironisnya, korupsi justru ramai terjadi di tubuh KPK sendiri. Ketua KPK Antasari Azhar yang hendak membersihkan KPK dari masalah korupsi justru dijebloskan ke penjara melalui rekayasa tuduhan pembunuhan. Kejahatan yang tak pernah dilakukannya.
Memang sulit memberantas korupsi di NKRI ini. Betapun sulitnya, harus ada pejuang hukum yang memulai tanpa kenal menyerah.
Hormat saya,
Prof. DR. Otto Cornelis Kaligis
(Editor: Candra Wibawanti sesuai dengan surat yang diterima redaksi dari pihak OC Kaligis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar