Penampakan lahan tanah milik ahli waris Yahuza bin Madun yang dirampas oleh Pemprov Sumsel |
Jakarta, Info Breaking News – Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru kini tengah berperkara akibat tidak mematuhi hukum dalam hal ganti rugi lahan milik ahli waris Musawir bin Yahuza yang dipakai untuk Masjid Sriwijaya di Jakabaring, Palembang, meskipun sudah ada keputusan inkracht dari Mahkamah Agung RI.
Seorang wartawan senior anggota PWI Jaya dengan Nomor Anggota 09.00.1824.86, A. Rasyid Muhammad, yang mendapat kuasa Subsituasi dari kantor Pengacara Azi Ali Tjasa, Sohari & Partner yang beralamat di Kota Bengkulu, sudah melaporkan kasus ini ke sejumlah petinggi negara, termasuk kepada Presiden RI, Ketua Mahkamah Agung RI, Menkopolhukam RI, Menteri Dalam Negeri RI, Ketua Komisi Ombudsman Pusat, Ketua Komnas HAM, Ketua Komisi III DPR.RI, Ketua DPRD Tingkat I Sumsel di Palembang, dan Ketua Pengadilan Negeri Palembang di awal Januari lalu. Kendati demikian, hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan konkrit yang dilakukan.
Rasyid menjelaskan kasus berawal dari tahun 2015, dimana beberapa orang ibu, yakni Siti Khadijah, Musawir bin Yahuza, Ny. Suhartati, Ny. Rismarini, dan Ny. Erna Astuti mengaku memiliki sebidang tanah seluas 79.735 m2 yang terletak di Kecamatan Seberang Ulu I, Kelurahan 8 Ulu (sekarang Jalan Pangeran Ratu Jakabaring) Kodya Palembang sebagai peninggalan suami/orangtua mereka bernama Yahuza bin Madun (almarhum)/Pewaris.
Setelah Yahuza bin Madun meninggal dunia pada tahun 1990, maka secara otomatis tanah tersebut menjadi hak bersama (para ahli waris). Tanah tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam/pertanian tanpa ada gangguan dari siapa pun.
Namun, ketenteraman hidup mereka mulai terusik oleh adanya rencana Pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang yang berlokasi di tanah tersebut oleh Gubernur Sumsel tanpa persetujuan dari para ahli waris. Pemprov Sumsel telah sewenang-wenang menyerahkan tanah milik ahli waris untuk pembangunan Masjid Sriwijaya dengan mengerahkan aparat untuk menggusur apa saja yang berada di atas tanah baik bangunan maupun tanam tumbuh tanpa adanya ganti rugi atau kompensasi sedikit pun.
Pada tanggal 16 Oktober 2015, para ahli waris akhirnya melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Palembang melalui kantor pengacara Azi Ali Tjasa, Sohari & Partner melawan Negara Republik Indonesia c/q Menteri Dalam Negeri RI c/q Gubernur Sumsel, dan turut tergugat Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumsel.
PN Palembang telah memutus perkara tersebut No.200/Pdt.G/2015/PN Plg tanggal 17 Juli 2016 dengan Kemenangan Ahli Waris/Penggugat. Pihak Pemprov kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sumsel namun kalah usai PT memutus perkara tersebut No. 102/PDT/2016/PT.PLG tanggal 8 Desember 2016 dengan Kemenangan Ahli Waris.
Tidak kapok, Pemprov terus berulah dengan melanjutkan perkara ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan MA telah memutus perkara tersebut dengan No. 1637/K/Pdt/2017 tanggal 11 September 2017 dengan Kemenangan Ahli Waris. Terakhir pihak Pemprov melakukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dan PK tersebut telah diputus dengan Nomor 282/PK/Pdt/2020, dengan Kemenangan Ahli Waris.
‘’Sangat disayangkan setelah menggebu-gebu melakukan perlawanan terhadap Ahli Waris yang umumnya kaum ibu, miskin dan tidak berdaya, pihak Pemprov Sumsel c/q Gubernur Sumsel tidak mau melaksakan Putusan yang sudah inkracht, dengan alasan yang dicari-cari hanya untuk menghindar dari tanggung jawab,‘’ kata A. Rasyid Muhammad.
Ia berharap kepada Bapak Presiden RI untuk membujuk, menegur, dan memerintahkan Gubernur Sumsel Herman Deru selaku pejabat negara untuk melaksanakan Putusan MA yang sudah inkracht, yaitu membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp 13.867.500.000 (Tiga Belas Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), dengan perhitungan harga tanah hanya Rp 500.000 per meter.
Diketahui, dalam memori Kasasi yang diajukan pihak Pemprov Sumsel, mereka menuntut ganti rugi kepada Ahli Waris sebesar Rp 200.000.000.000 (dua ratus miliar) dengan perhitungan harga tanah sebesar Rp 2.500.000 per meter.
“Perlu diingat yang akan dibangun di atas lahan itu adalah Masjid, Rumah Allah, tempat suci. Jangan sampai lahan yang dipakai itu hasil rampasan dari kaum miskin yang tidak berdaya. Itu sama saja menzolimi rakyat sendiri,” tegas Rasyid.
Kini rencana pembangunan Masjid Sriwijaya terbengkalai. Di atas tanah rampasan ini sudah dipasang pondasi tapi kini sudah ditumbuhi rumput. Mantan Gubernur Sumsel yang awalnya menggagas Masjid ini sudah masuk penjara karena terlibat korupsi dana hibah untuk masjid, sementara Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya juga ikut ditahan, dan ketua FKUB sudah meninggal.
‘’Jika ditelusuri secara mendalam awal sengketa tanah ini tidak terlepas dari mafia tanah yang berkolaborasi dengan pihak aparat. Sayangnya waktu itu, masalah mafia tanah belum mendapat perhatian serius dari pemerintah,’’ demikian ujar Rasyid.
Sekali lagi Rasyid yang mewakili kaum ibu yang tidak berdaya ini meminta tolong kepada Bapak Presiden untuk mencarikan jalan keluarnya. “Kepada siapa lagi kami mengadukan hal ini selain kepada Bapak, karena semua upaya sudah dilakukan baik melalui jalur formal maupun informal, namun tetap tidak membuahkan hasil bahkan perkara ini sudah lima tahun berjalan dan sudah menguras tenaga dan biaya yang cukup besar.”
‘’Semoga Bapak Presiden diberikan jalan terbaik oleh Allah Swt dalam memperjuangkan hak-hak kaum miskin yang tertindas ini,” tutupnya. *** A. Rasyid
Dapatkan berita aktual lainnya, hanya tinggal klik Beranda di bawah ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !