Jakarta, Info Breaking News - Pada hari Minggu tanggal 15 Oktober 2023, dalam penerbangan saya dengan Batik Air ID 6280, di kursi 2A penerbangan Jakarta–Manado, saya sempat secara keseluruhan nonton film “Ice Cold”, ulangan tayangan peristiwa pembunuhan Mirna.
Sayangnya, tayangan tersebut tidak lengkap karena diberhentikan oleh Kalapas.
Ini adalah ulasan saya yang ketiga, baik sebagai praktisi maupun sebagai ahli di dalam dunia akademik.
Sekalipun Jessica di Lapas dibatasi kebebasan bicaranya, saya yakin satu waktu kelak, melalui perkembangan teknologi penyiaran, para pemirsa/pengamat hukum dapat mengikuti secara lengkap jalannya fakta hukum.
Satu yang sangat berkesan kepada saya sebagai praktisi adalah penegasan Jessica ketika pengacara terkenal Hotman Paris menyarankan agar Jessica minta grasi kepada Bapak Presiden.
Sontak jawaban Jessica: “Saya tidak pernah minta maaf untuk perbuatan yang tidak pernah saya lakukan.”
Itu sebabnya Jessica juga menolak acara rekonstruksi yang dilakukan penyidik, dimana di dalam adegan itu Jessica harus bertindak sebagai pelaku pembunuhan.
Saya sebagai terpidana yang pernah dihukum tanpa bukti, sangat memahami deklarasi Jessica itu. Saya dituduh menyuap hakim untuk perkara saya yang dikalahkan. OTT tanggal 9 Juli 2015 terjadi di PTUN Medan, ketika pada tanggal itu saya lagi membela perkara di PN Denpasar.
Dalam dunia suap menyuap, sogok hakim untuk memenangkan perkara bukan untuk perkara yang dikalahkan.
Saya tidak akan membahas hukuman saya, karena semua fakta hukum itu telah saya bukukan dalam dua buku berlabel ISBN, artinya buku saya itu dapat dipertanggung jawabkan, bukan hoaks. Saya pun sampai mati tidak akan pernah meminta grasi untuk perkara saya.
Ini sebabnya mengapa saya sangat mengerti deklarasi Jessica: Jessica pantang minta ampun kepada Bapak Presiden untuk hal atau untuk putusan pembunuhan yang tidak pernah dilakukan oleh Jessica.
Ketika di Penjara Sukamiskin tanggal 7 Februari 2021, saya telah mengulas panjang lebar mengenai kasus Jessica. Tulisan saya dan uraian analisa hukum saya: Tidak seorang saksi mata yang pernah melihat Jessica menuang sianida ke cangkir Mirna.
Mirna meninggal 6 Januari 2016 jam 18.30. Di saat itu tidak dilakukan Police Line. Gelar perkara lima hari kemudian tanggal 11 Januari 2023. Rekonstruksi peristiwa kejadian tanggal 7 Februari 2023.
Jessica dengan tegas menolak rekonstruksi yang menempatkan dirinya sebagai pelaku pembunuhan.
Tidak jelas siapa yang membawa cangkir Mirna ke dapur, apa gelas itu segera dicuci, sesuai kebiasaan kedai Oliver, dan tentu tanggal cuci gelas mestinya tanggal 6 Januari 2023, karena pada saat itu tak seorang pun sadar bahwa kematian Mirna akibat gelas yang diminumnya.
Karena tak seorangpun saksi mata melihat peristiwa penuangan sianida oleh Jessica ke cangkir Mirna, maka vonis dibuat berdasarkan kecurigaan yang sampai kepada kesimpulan yang menyesatkan, bahwa Jessica telah melakukan pembunuhan berencana.
Berikut ulasan beberapa ahli/saksi yang pada pokoknya meragukan kematian Mirna disebabkan oleh Sianida. Mereka adalah:
- Ahli Beng Beng Ong: Kematian Mirna bukan karena Sianida,
- Ahli Dr. Djaja Atmadja: Mayat sianida seharusnya merah, bukan biru seperti yang disaksikan ahli Dr. Djaja Atmadja,
- Dokter tidak menemukan adaya sianida di lambung Mirna selama memeriksa jenazahnya 70 menit kemudian;
- Ahli toksikologi yang dihadirkan keluarga mengatakan ada 0,2 mg/liter sianida yang ditemukan 3 hari setelah Mirna meninggal. Sedang sianida baru bisa menyebabkan kematian bila dosisnya mencapai 50-176 mg.
Di dalam ulasan saya tertanggal 2-10-2023 yang dimuat di media, saya sebutkan 11 alasan penyebab yang dapat mematahkan tuduhan pembunuhan yang dilakukan JPU terhadap Jessica.
Kesaksian dan pendapat Dr. Djaja Surya Atmadja: orang yang meninggal karena sianida, mayatnya kemerah-merahan. Kesaksian ini sama dengan kesaksian Sandy Salihin, saudara kembar Mirna.
Seandainya Hakim memberlakukan pasal 185 (6) KUHAP, maka putusan Mirna tanpa bukti seharusnya adalah putusan bebas. Apalagi testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai fakta hukum sesuai pasal 184 KUHAP.
Di pasal 183 KUHAP, Hakim dilarang memutus di luar pasal 184 KUHAP Junctis Pasal 185 (1), Pasal 185 (2) , Pasal 185(6) KUHAP.
Kemudian saksi kesimpulan yang bukan saksi mata;
Semua bukan saksi mata membuat kesimpulan yang meragukan, kesimpulan berdasarkan kebencian, kesimpulan yang menggiring publik.
Bahkan patut menjadi pertimbangan pendapat netizen yang mempertanyakan: Mengapa di waktu meninggalnya isteri muda Eddy, ibu Tiara Agnesia Masinambow, Eddy Darmawan Salihin, ayah Mirna, tidak hadir di pemakaman?
Tayangan film “Ice Cold” terhadap penggeledahan tas yang dibawa Jessica di saat kejadian. Sama sekali tidak terbukti adanya serbuk sianida.
Penggeledahan di CCTV “Ice Cold”: Tidak memperlihatkan hadirnya saksi Kepala Desa dan saksi RT, sesuai pasal 129 KUHP.
Bintang Utama di “Ice Cold” adalah ayah Mirna, saudara Eddy Darmawan Salihin yang dengan lantang seperti semula, menyampaikan keyakinannya bahwa sejuta persen si pembunuh anaknya adalah Jessica.
Ketika misalnya Penasehat Hukum di persidangan mempertanyakan, apakah saksi Eddy Darmawan Salihin melihat langsung Jessica menaruh serbuk sianida ke cangkir Mirna, pasti dijawab Eddy Darmawan Salihin menjelaskan: tidak melihat, karena di saat itu tidak ada di tempat.
Saksi atau ulasan mengenai dukungan terhadap vonis “Keliru” datangnya dan juga dilakukan secara lantang oleh seorang hakim bernama Binsar Gultom.
Mungkin Hakim Binsar Gultom adalah corong pembela para rekan seprofesinya, beliau adalah perpanjangan tangan putusan hakim yang mengadili Jessica.
Hakim Binsar Gultom yang bukan mengadili Jessica, bahkan di depan publik/media, memberi nasehat kepada Jessica untuk mengaku. Aneh memang. Seorang hakim mencari nama di media untuk perkara yang sama sekali tidak diadilinya.
Saya dapat mengerti mengenai ulasan Hakim Binsar Gultom yang pasti kurang ilmu, mengikuti putusan putusan keliru oleh hakim hakim di belahan dunia lain.
Diusirya ahli berkebangsaan Australia yang punya pendapat bahwa kematian Mirna tidak disebabkan oleh sianida, tidak membatalkan pendapatnya sebagai ahli. Bahkan kalau diberikan secara online, pendapat itu tetap menjadi fakta hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Pelanggaran imigrasi dengan Pendapat ahli adalah dua hal yang berbeda.
Dengan penuh kerendahan hati, saya yang malang melintang membela perkara di luar negeri, belum pernah mendengar hakim mengomentari putusan rekan sesama hakim, apalagi mencampuri pengakuan Jessica di dalam pemeriksaan Jessica, bahwa bukan Jessica pelaku pembunuhan.
Sebelum tulisan ini, tanggal 2 Oktober 2023 saya juga telah menulis artikel keraguan saya mengenai kasus Jessica dengan kesimpulan Jessica tidak bersalah. Tulisan saya dimuat beberapa media, bukan untuk mencari popularitas atau ikut membonceng berita hangat Jessica.
Jauh sebelum tayangan film “Ice Cold”, saya tanggal 7 Februari 2021 telah menulis keresahan saya mengikuti persidangan Jessica, yang telah divonis habis-habisan oleh media, sebelum hakim memutus.
Walaupun akhirnya menurut pendapat saya: keputusan hakim patut dipertanyakan. Putusan yang lahir dari opini orang tertentu di media. Putusan yang lahir berdasarkan kecurigaan.
Pengalaman saya membela dan mengikuti jurnal jurnal luar negeri, memang sering terjadi salah putusan sekalipun oleh hakim yang punya reputasi terkenal.
Berikut pasal-pasal yang dilanggar oleh Hakim pemutus:
A. Pasal 183 KUHAP: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah.”
B. Pasal 184 KUHAP: “Alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, ahli, keterangan surat, petujuk, keterangan terdakwa.”
C. Pasal 185 (1) : ”Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang Pengadilan.”
D. Pasal 185 (2) : “Mengenai azas Unus testis, nullus testis: Satu saksi bukan saksi.”
E. Pasal 185 (6) : “Dalam menilai keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh sungguh memperhatikan persesuaian keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu. Saksi de auditu, menurut Yurisprudensi, adalah bukan saksi. Yurisprudensi putusan MARI nomor 03 K/Sip/ 1970, tanggal 5 Mei 1971.”
F. Pasal 421 Kitab Undang Undang Hukum Pidana di bawah bab XXVIII mengenai Kejahatan Jabatan, “Seorang Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan ancaman pidana paling lama 2 tahun 8 bulan.”
G. Pasal 421 KUHP pernah dikenakan dalam kasus Bibit-Chandra Hamzah, karena mereka menabrak Undang-undang.
Dalam perkara Jessica, Hakim mengesampingkan pendapat para ahli, yang pada dasarnya menerangkan bahwa kematian Mirna bukan disebabkan oleh sianida.
Putusan Pengadilan mengabaikan fakta-fakta pendapat ahli tersebut di atas yang menjelaskan bahwa kematian Mirna bukan karena sianida.
Semoga ulasan saya ini bermanfaat.
(Editor: Nadya Emilia, sesuai dengan surat yang diterima dari Prof. Dr. O. C. Kaligis oleh redaksi infotopbreakingnews.com)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !