Dr, Jean Calvijn Simanjuntak, SIK, MH.
Jakarta, Info Breaking News - Disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberi suasana baru pada penanganan kekerasan seksual (KS) di Indonesia. Sebab, sebelum UU TPKS dibentuk, pengaturan mengenai penanganan kejahatan seksual tersebar dalam berbagai peraturan-perundang-undangan, yang pengaturannya sangat terbatas bentuk dan lingkupnya, belum sepenuhnya mampu merespons fakta kejahatan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Terdapat empat terobosan dalam UU TPKS, antara lain: pertama, adanya pengualifikasian jenis TPKS serta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS. Pasal 4 huruf a UU TPKS mengatur bahwa jenis-jenis TPKS terdiri dari: pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan KS berbasis elektronik.
Begitu juga pasal 4 huruf b, TPKS meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kejahatan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu tidak pidana yang menarik dan diakomodasi dalam UU TPKS adalah pelecehan seksual non fisik berupa catcalling, seperti siulan, kedipan mata, dan tatapan yang melecehkan merupakan. Catcalling dapat berdampak terhadap psikologis, pemenuhan HAM dan relasi sosial, serta ekonomi korban terutama perempuan.
Kedua, diatur juga hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi HAM, kehormatan, dan tanpa intimidasi. Dalam melaksanakan proses hukum terhadap TPKS, ada persyaratan khusus yang diamanatkan UU TPKS bagi penyidik, jaksa dan hakim, yaitu: 1) memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia (HAM) dan korban; serta 2) telah mengikuti pelatihan terkait penanganan TPKS.
Penyidik, jaksa dan hakim juga memiliki kewajiban dalam memeriksa saksi/korban/tersangka/terdakwa yaitu: 1) menjunjung tinggi HAM, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi; 2) tidak menjustifikasi kesalahan; 3) tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban; dan 4) tidak menanyakan hal tidak berhubungan dengan TPKS.
Ketiga, hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya TPKS yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban. Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan Korban juga terlihat dalam bentuk pemberian restitusi yang diberikan oleh pelaku TPKS sebagai ganti kerugian bagi Korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan. Selain itu, UU TPKS juga mengamanatkan pendampingan, bantuan, dan rehabilitasi bagi korban TPKS yang harus dilakukan secara serius oleh pemerintah.
Keempat, berdasarkan Pasal 23 UU TPKS, perkara kejahatan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai "penyelesaian di luar proses peradilan". Kejahatan KS tidak hanya melanggar HAM, tapi juga menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban, oleh karena itu dalam penanganan TPKS harus menjunjung tinggi asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kepentingan bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif terhadap UU TPKS dan memberikan pelatihan terhadap aparat penegak hukum agar pelaksanaan UU tersebut berjalan dengan baik. Pelatihan juga harus diberikan kepada masyarakat dan organisasi masyarakat, terutama bagi lembaga-lembaga yang memiliki tugas atau kewenangan dalam melakukan pendampingan terhadap korban, agar tujuan-tujuan kelahiran UU TPKS untuk melindungi masyarakat terwujud.
Penulis Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H adalah peserta didik (Serdik) Sespimti Tahun Ajaran 2024
Salah satu tidak pidana yang menarik dan diakomodasi dalam UU TPKS adalah pelecehan seksual non fisik berupa catcalling, seperti siulan, kedipan mata, dan tatapan yang melecehkan merupakan. Catcalling dapat berdampak terhadap psikologis, pemenuhan HAM dan relasi sosial, serta ekonomi korban terutama perempuan.
Kedua, diatur juga hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi HAM, kehormatan, dan tanpa intimidasi. Dalam melaksanakan proses hukum terhadap TPKS, ada persyaratan khusus yang diamanatkan UU TPKS bagi penyidik, jaksa dan hakim, yaitu: 1) memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia (HAM) dan korban; serta 2) telah mengikuti pelatihan terkait penanganan TPKS.
Penyidik, jaksa dan hakim juga memiliki kewajiban dalam memeriksa saksi/korban/tersangka/terdakwa yaitu: 1) menjunjung tinggi HAM, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi; 2) tidak menjustifikasi kesalahan; 3) tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban; dan 4) tidak menanyakan hal tidak berhubungan dengan TPKS.
Ketiga, hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya TPKS yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban. Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan Korban juga terlihat dalam bentuk pemberian restitusi yang diberikan oleh pelaku TPKS sebagai ganti kerugian bagi Korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan. Selain itu, UU TPKS juga mengamanatkan pendampingan, bantuan, dan rehabilitasi bagi korban TPKS yang harus dilakukan secara serius oleh pemerintah.
Keempat, berdasarkan Pasal 23 UU TPKS, perkara kejahatan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai "penyelesaian di luar proses peradilan". Kejahatan KS tidak hanya melanggar HAM, tapi juga menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban, oleh karena itu dalam penanganan TPKS harus menjunjung tinggi asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kepentingan bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif terhadap UU TPKS dan memberikan pelatihan terhadap aparat penegak hukum agar pelaksanaan UU tersebut berjalan dengan baik. Pelatihan juga harus diberikan kepada masyarakat dan organisasi masyarakat, terutama bagi lembaga-lembaga yang memiliki tugas atau kewenangan dalam melakukan pendampingan terhadap korban, agar tujuan-tujuan kelahiran UU TPKS untuk melindungi masyarakat terwujud.
Penulis Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H adalah peserta didik (Serdik) Sespimti Tahun Ajaran 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar