Jakarta, Info Breaking News - Sambil ngabuburit menunggu berbuka, tulisan ini sangan menggugah hati untuk dibaca, agar lebih nyaman kedepan menghadapi semua tantangan dan ujian hidup. Karena ada satu hal yang semakin sulit dilakukan di zaman digital ini: diam.Diam dengan duduk tenang tanpa menyentuh ponsel. Menyendiri tanpa menggulir layar gadget. Berpikir tanpa disela notifikasi.
Kelihatannya sederhana. Tetapi itu sulit dijalankan.
Zaman digital membuat kita sibuk. Bukan karena banyaknya pekerjaan, namun karena ketagihan melihat orang lain sibuk.
Seseorang mengunggah foto makanan, kita ikut lapar. Orang lain pamer liburan, kita merasa kurang jauh jalan-jalan. Seseorang curhat, kita ikut menanggung emosinya.
Lalu, waktu habis begitu saja. Tiba-tiba sudah tengah malam, dan yang tersisa hanya lelah. Pikiran penuh, tapi entah apa manfaatnya. Kita bahkan lupa siapa diri kita sendiri.
Berpuasa Media Sosial
Ramadhan datang dengan pesan yang jelas: menahan diri. Mengendalikan nafsu.
Tapi ada satu nafsu yang jarang kita sadari, yaitu nafsu melihat, membaca, dan merespons apa pun yang lewat di layar gadget. Kita terbiasa membuka media sosial tanpa berpikir, menggulir tanpa arah, dan menyerap terlalu banyak hal yang belum tentu kita butuhkan.
Cal Newport dalam bukunya Digital Minimalism menulis bahwa teknologi seharusnya menjadi alat, bukan tuan.
Manusia modern-lah yang seharusnya mengendalikan media sosial, bukan sebaliknya. Namun, banyak orang kehilangan kendali. Alih-alih memakai media sosial untuk sesuatu yang bermanfaat, justru sebaliknya. Seolah-olah ada dorongan yang tak bisa ditahan untuk selalu online, selalu tahu apa yang sedang terjadi, dan selalu hadir dalam percakapan digital.
Sementara, khatib Jumat sering kali mengingatkan dengan ayat Alquran surat Al-'Asr, bahwa manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang mengisi waktunya dengan iman, amal kebajikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Waktu lebih berharga dari apa pun. Ironisnya, kita sering menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak benar-benar berarti.
Berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara media sosial dan kesehatan mental. Mereka yang menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial lebih rentan terhadap kecemasan, perasaan tidak cukup baik, dan bahkan depresi.
Banyak yang berpikir media sosial adalah hiburan. Padahal, semakin lama kita berada di sana, semakin gelisah hati kita. Mungkin karena terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain. Mungkin karena terlalu banyak informasi yang melelahkan. Atau mungkin, karena kita jarang memberi ruang bagi diri sendiri untuk sekadar diam dan merasa cukup.
Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menguji ketahanan diri. Bukan hanya dalam hal makanan dan minuman, tetapi juga dalam hal-hal yang mengganggu ketenangan hati.
Jika kita bisa berpuasa lebih dari 12 jam dari makanan dan minuman, mengapa tidak mencoba berpuasa dari media sosial?
Tidak perlu ekstrem. Cukup satu bulan tanpa menggulir layar tanpa alasan. Satu bulan tanpa menyerap drama yang bukan milik kita. Satu bulan pula tanpa merasa perlu selalu tahu segalanya.
Awalnya mungkin terasa canggung. Ada dorongan untuk membuka aplikasi yang biasa dikunjungi. Ada rasa penasaran tentang apa yang sedang terjadi di luar sana. Namun, lambat laun, kita akan mulai menyadari sesuatu.
Hari akan terasa lebih panjang. Pikiran lebih ringan. Waktu yang biasanya habis untuk melihat kehidupan orang lain, kini bisa diisi dengan sesuatu yang lebih nyata.
Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah bersabda:
"Seseorang disebut kuat bukan karena menang duel. Orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." (HR Al-Bukhari)
Media sosial sering kali memancing emosi. Membuat kita mudah marah, iri, dan lelah dengan informasi yang tidak perlu. Padahal, semakin kita bisa menjaga diri dari hal-hal yang mengganggu ketenangan, semakin kita bisa fokus pada hal yang benar-benar penting.
Berpuasa dari media sosial bukan berarti menghilangkan teknologi dari hidup. Ini tentang mengambil kendali. Menggunakan media sosial dengan sadar. Memutuskan kapan kita benar-benar butuh, dan kapan kita sekadar terdorong oleh kebiasaan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat 49:6)
Hari ini, informasi datang begitu cepat. Satu unggahan bisa menyebar dalam hitungan detik. Namun, apakah semua itu benar? Apakah semua itu penting?
Betapa sering kita terjebak dalam pusaran berita yang melelahkan. Ikut terseret dalam perdebatan yang tak perlu, dan akhirnya, hanya meninggalkan rasa jenuh tanpa makna.
Jika kita bisa melewati Ramadhan dengan menahan diri dari hal-hal yang lebih sulit, mengapa tidak mencoba mengurangi sesuatu yang lebih sederhana? Tidak harus berhenti total. Cukup gunakan media sosial dengan lebih sadar. Pilih waktu tertentu untuk mengaksesnya, lalu tinggalkan. Jangan biarkan ponsel mengendalikan kita lebih dari yang seharusnya.
Ramadhan Sarana Digital Detox
Di era digital, menjaga diri bukan hanya soal menutup aurat. Tetapi juga menjaga mata dari layar yang berlebihan. Menjaga hati dari perasaan yang tidak perlu.
Menjaga telinga dari gosip digital yang tak jelas ujungnya. Dulu, setan membisikkan godaan di telinga. Sekarang, ia hadir dalam bentuk unggahan, komentar, dan tren yang menggoda kita untuk terus terlibat.
Rasulullah pernah mengingatkan bahwa dua nikmat yang sering dilupakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Manusia sering lupa betapa berharganya waktu, sampai akhirnya kita kehabisan. Dan sayangnya, sebagian besar waktu yang terbuang hari ini tidak hilang di jalan atau dalam antrean panjang, tapi dalam layar kecil yang ada di genggaman.
Bukan berarti media sosial buruk. Tidak. Ada banyak manfaatnya jika digunakan dengan benar. Tapi seperti makanan, media sosial bukan untuk dikonsumsi tanpa batas. Jika berlebihan, justru akan merusak keseimbangan.
Ramadhan adalah kesempatan untuk menata ulang kebiasaan. 30 hari bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk menyadarkan kita bahwa hidup bisa lebih tenang tanpa harus selalu terkoneksi. Bahwa hidup bisa lebih bermakna tanpa harus selalu membandingkan. Bahwa ada begitu banyak hal yang lebih layak diperhatikan daripada sekadar layar.
Mungkin sudah saatnya kita mencoba. Mencari kembali ketenangan yang selama ini hilang. Melepaskan diri dari distraksi yang selama ini membelenggu. Bukan untuk selamanya, tetapi cukup untuk mengingatkan bahwa hidup ini lebih luas daripada sekadar apa yang tampak di media sosial. (*)
Khoirul Anwar
Penulis adalah pengurus LTN PBNU, Wakil Ketua PCNU Kota Malang, dan pengajar Media Technology di Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !