Headlines News :
Home » » Jaksa Agung: Tidak Ada Alasan untuk Tidak Menghukum Mati Koruptor

Jaksa Agung: Tidak Ada Alasan untuk Tidak Menghukum Mati Koruptor

Written By Info Breaking News on Jumat, 19 November 2021 | 08.38

Jaksa Agung ST Burhanuddin

JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor.

Hal ini ia sampaikan sebagai respons akan penolakan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari para aktivitas HAM.


Burhanuddin menilai aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati, dengan dalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan.


"Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati," katanya dalam webinar yang digelar secara daring oleh Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Kamis (18/11/2021)


Burhanuddin mengatakan, masyarakat perlu menyadari bahwa eksistensi 'hak asasi' haruslah bergandengan tangan dengan 'kewajiban asasi'. Dengan kata lain, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.


Peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


"Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," ucapnya.


Namun, jika dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, maka akan tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya. Ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Kemudian, dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.


"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar UU," tegas Burhanddin.


Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.


Burhanuddin juga turut membahas persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap korupsi, yakni adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.


Pandangan tersebut ia tepis dengan sebuah pertanyaan serupa secara a contrario yaitu: “Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?” 


"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," tutur Burhanuddin.


Meski begitu, ia menyebut penerapan hukuman mati bagi para koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera.


Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset, serta memiskinkan koruptor.


Tapi ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh dimana-mana.


Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya.


Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut. Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp 16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya, dan Rp 22,78 triliun di kasus Asabri. Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. ***Armen Foster


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved