Headlines News :
Home » » Benarkah Era Reformasi Menghasilkan Restorasi Hukum?

Benarkah Era Reformasi Menghasilkan Restorasi Hukum?

Written By Info Breaking News on Minggu, 12 Desember 2021 | 17.53


JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Perkenankanlah saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, seorang pemerhati hukum yang kini sedang dipenjarakan di Lapas Sukamiskin untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan saya mengenai carut marutnya penegakkan hukum dewasa ini, di tanah air kita.

Setiap tanggal 10 Desember dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, di Indonesia kata “HAM” tak ada artinya dalam penegakkan hukum, terlebih bagi masyarakat pinggiran atau masyarakat miskin.


Buktinya si miskin yang memperjuangkan hak asasinya dikesampingkan ketika secara sewenang-wenang mereka dianiaya dan disiksa oleh seorang pemegang kuasa bernama Novel Baswedan.


Pekik permohonan keadilan mereka didiamkan begitu saja oleh para penegak hukum, sosok yang punya kuasa menegakkan hukum di bumi Indonesia ini.


Bahkan Novel Baswedan yang oleh undang-undang telah dipecat sebagai Aparatur Sipil Negara, kembali di usianya yang ke 44 tahun ditetapkan sebagai ASN di kepolisian untuk kemudian kembali ke KPK, di tempat dimana dia bertindak secara otoriter sebagai penyidik KPK. Padahal setahu saya, usia maksimum untuk jadi ASN adalah 35 tahun.


Kini, otomatis perkara pidana penganiayaan dan pembunuhan yang sekarang lagi sengaja digantung oleh Kejaksaan, urung dimajukan ke pengadilan sesuai perintah pengadilan.


Itu lah realita peradilan di Indonesia yang terjadi di semua lini. Mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, putusan peradilan sampai ke tingkat Kementerian Hukum dan HAM. Para warga binaan, dengan embel-embel pembinaan, memperoleh perlakuan yang tebang pilih dan diskriminatif.


Berapa banyak warga binaan miskin yang telah habis masa penahanannya tetap di-lapas-kan, hanya karena sama sekali tidak punya uang pelumas? Belum lagi diskriminasi dalam pemberian remisi, cuti menjelang bebas, asimilasi dan semua hak warga binaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan pasal 14 Undang-undang Nomor 12/1995 yang dikenal sebagai Undangundang Pemasyarakatan.


Sekalipun sejak 30 September 2021 putusan MK dan MA menetapkan bahwa sejak putusan itu, hanya Departemen Hukum dan HAM yang satu satunya punya otoritas memberikan hak-hak warga binaan tanpa campur tangan KPK, perlakuan tanpa diskriminasi terhadap para warga binaan, sampai detik ini, belum terlaksana.


Suap atau penerimaan hadiah sebesar 5-10 juta rupiah disaring sebagai perbuatan korupsi dengan vonis  2 sampai 5 tahun. Betapa negara dirugikan untuk biaya hidup mereka selama di Lapas. Padahal wewenang KPK menjaring korupsi untuk kerugian negara berjumlah satu miliar rupiah ke atas.


Dengan kelahiran era reformasi, dibuatlah bermacam-macam perangkat hukum, seolah-olah para pemimpin negari ini benar berniat menjadikan NKRI sebagai negara hukum berlandaskan Konstitusi dan Pancasila.


Dimulai dengan UU Nomor 28/1999 untuk melawan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Selanjutnya ada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang dapat menjaring siapa saja yang diasumsikan “dapat” menimbulkan kerugian negara.


Tentu kata “dapat” tersebut tergantung dari intepretasi penyidik atau penuntut umum. Sekalipun putusan MK No. 25/2016 telah menghapus kata “dapat” tersebut, tetap saja KPK menjaring para tersangka berdasarkan asumsi atau melalui hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, bukan Badan Pemeriksa Keuangan.


Kemudian, ada pula UU KPK Nomor 30 Tahun 2002. Terbentuknya KPK yang sifatnya ad hoc, dibentuk untuk meningkatkan kemampuan polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi. Sekalipun ad hoc, terbukti kekuasaan KPK  yang tanpa batas bahkan anarkis, berhasil mengabaikan koordinasi dengan kepolisian dalam kegiatan pemberantasan korupsi.


Untuk mengawasi tertib pelaksanaan undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi, terbentuklah UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003. Keputusan MK yang erga omnes, adalah putusan akhir yang tak dapat dibanding (final and binding).


Berikut putusan-putusan MK yang justru diabaikan penegak hukum:


Putusan MK nomor 33/2016 yang menyatakan jaksa tidak berwenang melakukan upaya hukum di permohonan PK yang diajukan terpidana selaku pemohon.


Putusan MK nomor 34/2013 yang menyatakan hanya terpidana dan ahli waris yang dapat mengajukan PK lebih dari sekali. Putusan ini diabaikan MA. Sekalipun Pengadilan Negeri memeriksa PK kedua, dan para ahli yang dimajukan terpidana mendukung PK lebih dari sekali melalui pendapat ahli mereka, Mahkamah Agung tetap tidak akan memeriksa permohonan PK kedua. 


Baik Mahkamah Agung maupun Jaksa Agung mengabaikan putusan MK yang erga omnes.


Terakhir Jaksa Agung dalam pernyataan persnya, menegaskan akan kembali mengajukan PK terhadap putusan yang in kracht (berkekuatan hukum tetap). Putusan MK nomor 25/PUU-XIV/2016: kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dihapus. Tegasnya unsur merugikan keuangan negara harus nyata. Kerugian negara bukan lagi delik formil, tetapi delik materiil.


Namun, daalam prakteknya, KPK megabaikan putusan ini. Sekalipun baik Mahkamah Agung maupun Kejaksaan Agung telah menetapkan bahwa hanya BPK yang berwewenang menentukan kerugian negara, KPK tetap saja mengabaikan ketentuan ini.


Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 mengenai kegiatan sadap-menyadap. Sebelum UU Tipikor direvisi, penyadapan tidak diawasi Dewan Pengawas. Akibatnya, tidak ada satu pun yang tahu kapan dirinya disadap KPK. Tidak jarang penyadapan dilakukan di luar tingkat penyelidikan lalu hasilnya diedit sedemikian rupa dan kemudian diajukan sebagai bukti di persidangan. Sadapan yang menguntungkan terdakwa, dikesampingkan.


Pemeriksaan perkara KPK di persidangan adalah persidangan sandiwara. Mengapa begitu? Sukamiskin adalah tempat penelitian hukum saya. Semua korban warga binaan sependapat bahwa tuntutan hanya menyalin dakwaan saudara JPU. Sekalipun pasal 185 (1) KUHAP mengatur bahwa bukti adalah apa yang terungkap dipersidangan, bukti tersebut selama menguntungkan terdakwa langsung dikesampingkan.


Penerapan hukum di era reformasi, sekalipun berulang kali Presiden Joko Widodo menyerukan agar pelaksanaannya dilakukan tanpa tebang plih, tetap saja para pelaksana di bidang hukum, mengabaikan himbauan Bapak Presiden. Bahkan putusan putusan MK dan undang-undang lainnya sama sekali tidak dilaksanakan.


Ketika para wakil rakyat di DPR, walaupun melihat carut-marutnya penerapan hukum, tetapi tidak sanggup berbuat apa-apa melawan kezoliman tersebut, di saat itu pula saya berani katakan bahwa NKRI sebagai negara hukum, telah runtuh.


Tulisan saya sebagai praktisi dan akademisi, bahkan sampai sekarang saya masih berstatus hakim arbitrase, sekedar saya buat sebagai catatan sejarah mengenai runtuhnya peradilan di Indonesia. 


Tulisan ini juga saya alamatkan mengenang jutaan manusia yang bercita-cita menjadi aparatur sipil negara tetapi harapannya pupus karena gagal tes. Kalian berjiwa besar, tidak membuat kegaduhan, menerima kenyataan gagal tes dengan lapang dada.


Bagi mereka yang berakal sehat, jangan bermimpi bahwa NKRI masih negara hukum. Buktinya masih ada 6 tersangka yang harus diadili, tetapi perkaranya tak kunjung maju ke pengadilan. Bahkan mereka dengan angkuhnya bertindak seolah-olah pejuang keadilan. Mereka adalah  duo Bibit-Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Prof. Denny Indrayana tersangka korupsi dan Novel Baswedan si tersangka pembunuh yang berhasil kembali jadi penyidik Polri.


Apa mungkin Novel Baswedan jadi sangat berkuasa, karena mengantongi banyak fakta korupsi yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negara di Republik ini?


Demikianlah catatan sejarah dari seorang warga binaan bernama OC. Kaligis, yang karena status saya sebagai warga binaan pasti catatan ini  sama sekali tidak mendapatkan perhatian guna memperbaiki penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. 


Semoga Tuhan Yang Maha Adil mendengarkan dan memberi jawaban.



(Editor: Candra Ha Wibawanti, sesuai dengan surat elektronik yang diterima oleh redaksi pada 12 Desember 2021).


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved