Headlines News :
Home » » Distorsi, Operasi Politik Berkedok Hukum

Distorsi, Operasi Politik Berkedok Hukum

Written By Info Breaking News on Rabu, 01 Desember 2021 | 22.24


JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - “Di zaman penjajahan kita melawan Belanda. Sekarang kita melawan bangsa kita sendiri”. Bung Karno Pejuang Kemerdekaan.


Perkenankanlah saya, Prof. Otto Cornelis Kaligis, memberi masukan bidang yang saya kuasai, baik selaku praktisi maupun akademisi untuk hal berikut ini:


Pendahuluan 


Obyek pembahasan adalah bagaimana semrawutnya pelaksanaan penegakkan hukum yang berkeadilan yang terjadi di tingkat penyidikan, penuntutan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyaratan atas para warga binaan. Sistem Pemidanaan terintegrasi yang berkeadilan dikenal dengan sebutan “The Integrated Criminal Justice System”.


Sebagai praktisi maupun sebagai seorang Guru Besar yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya tiba kepada pembahasan bagaimana kacaunya “Fiat Justitia” atau pelaksanaan keadilan bagi pencari keadilan.


Untuk maksud tersebut, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya ketegasan dalam melaksanakan tegaknya hukum tanpa tebang pilih, melaksanakan baik hukum acara maupun hukum pidana, baik hukum formil maupun hukum materiil dengan benar.


Abstrak


Secara singkat distorsi yang saya maksud disini ialah pencapaian penegakkan hukum yang gagal akibat terjadinya pengrusakkan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum itu sendiri.


Tujuan perjuangan Orde Reformasi adalah pelaksanaan masyarakat bersih, bebas korupsi. Untuk itu, dibentuklah Undang-undang Tipikor (KPK). Lalu muncul pula para penyidik dan Penuntut Umum Tipikor yang sekalipun bersifat “Ad Hoc” alias sementara, otoritasnya yang mutlak independen, bebas diawasi, menyebabkan terjadinya pembusukan pemberantasan korupsi oleh oknum-oknum KPK itu sendiri.


Tahun 2003 saya berkesempatan menjadi bagian delegasi Indonesia menghadiri sidang PBB di Wina, Austria yang membahas korupsi sebagai Trans Organized Crime (kejahatan terorganisasi lintas negara, terjemahan bebas dari saya). Istilah hukum yang dipakai adalah illicitly  aquired assets. Mungkin terjemahan yang tepat adalah aset yang diperoleh secara haram, secara melawan hukum.


Alasan saya memberi definisi sesuai yang dipergunakan pada konvensi di Wina tersebut, adalah untuk meluruskan istilah “korupsi” yang dipakai di Indonesia, seperti extraordinary crime, serious crime. Padahal istilah yang benar adalah Trans National Organized Crime (TOC).


Dengan diplesetkannya istilah tersebut, seolah-olah perolehan kekayaan secara melawan hukum, terbilang kejahatan kemanusiaan, seperti halnya dengan kejahatan genosida yang terjadi di Jerman saat perang dunia kedua dimana Hitler membantai etnis Yahudi ke kamar gas, sehingga pelaku korupsi dapat dihukum mati sama dengan hukuman kejahatan pembantaian umat manusia.


Era Kriminalisasi


Orde Reformasi lahir menggantikan Orde Baru. Lalu terbentuk UU Tipikor, Undang-undang nomor 31/1999 juncto Undang-undang nomor 20/2001. Meski statusnya Ad Hoc, kekuasaannya di atas otoritas polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan.


Jika hakim berani membebaskan terdakwa, KPK tak segan-segan mengintimidasi, meneror hakim tersebut. Dibawah kekuasaan Hakim Agung Artidjo, KPK merajalela menentukan seorang menjadi tersangka, sekalipun tidak ditunjang oleh dua orang saksi.


Sebagai contoh, jika ada calon Bupati dengan elektabilitas tinggi, maka untuk menggagalkan keberhasilan yang bersangkutan, KPK atas laporan informasi dari calon saingan, langsung menetapkan yang bersangkutan sebagai “tersangka”. Lihat saja contoh yang terjadi pada Jendral Polisi Budi Gunawan yang semestinya lolos sebagai Kapolri tapi langkahnya harus terjegal lantaran Ketua Komisioner Abraham Samad, Bambang Widjojanto, menetapkan dirinya jadi tersangka.


Ada pula kasus Ketua BPK Hadi Purnomo yang jadi tersangka gara-gara laporan keuangan BPK terhadap KPK. Padahal dalam laporan tersebut, yang diambil alih oleh DPR di tahun 2018, membuktikan ada korupsi di badan KPK.


Kebetulan kantor saya menjadi bagian Penasehat Hukum Budi Gunawan di sidang praperadilan. Karenanya saya punya bahan bukti permainan KPK  yang karena dapat bertindak otoriter tanpa pengawasan, bebas menentukan lawan lawan politik seseorang, untuk jadi tersangka.  


Operasi Politik Berkedok Hukum


Dimulai ketika bersih-bersih KPK dilakukan oleh mantan Ketua Komisioner Antasari Azhar. Dirinya menangkap Aulia Pohan, besan SBY. Alhasil SBY mengirimkan Hary Tanoesoedibjo untuk cegah penahanan Pohan namun diabaikan oleh Antasari. Akibatnya rekayasa dakwaan pembunuhan dilakukan atas diri Antasari Azhar.


Selanjutnya, kasus korupsi Bibit - Chandra Hamzah yang dideponeer SBY dengan alasan bila perkara korupsi tersebut dilanjutkan ke Pengadilan, akibatnya: lebih menimbulkan mudarat daripada manfaat. Istilah justifikasi baru yang digunakan SBY melindungi korupsi KPK. 


Bukankah SBY sendiri yang memproklamirkan Partai Demokrat sebagai partai bersih? Ironinya, Partai Demokrat yang meloloskan pencalonan Prof. Denny Indrayana, tersangka korupsi, ke pencalonan Gubernur Kalimantan Selatan.  


Manuver politik SBY dalam penegakkan hukum, tak hanya dengan “deponeering”, tetapi juga mendesak KPK supaya mempidanakan Anas Urbaningrum, lalu menjagokan Andi Malarangeng sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.


Budi Gunawan gagal jadi Kapolri karena Abraham Samad menilai Budi Gunawan menghambat ambisinya jadi Wapres mendampingi Jokowi. Bareskrim di era pimpinan Jendral Polisi Budi Waseso mestinya bisa menetapkan banyak oknum KPK jadi tersangka. Sadar akan terpuruknya KPK, akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, Budi Waseso langsung dipindah tugas.


Intimidasi KPK terhadap Hakim


Di era Novel Baswedan, putusan hakim yang mengalahkan KPK langsung diberitakan secara negatif. Contohnya ketika Hakim Sarpin di Jakarta Selatan memenangkan permohonan praperadilan Jendral Polisi Budi Gunawan.


Yang dielu-elukan adalah Hakim Agung Artidjo yang putusannya selalu senada dengan tuntutan KPK. Padahal banyak ahli Hukum Pidana yang mengkritisi putusan Artidjo yang diputus tanpa pertimbangan hukum sama sekali.


Ketika seorang tersangka dinyatakan OTT oleh KPK, tak hanya tersangka, wanita-wanita yang tidak ada hubungannya dengan kasus korupsi ikut menjadi bulan-bulanan berita, tanpa memperhitungkan masa depan wanita-wanita tersebut. 


Polisitasi Penguasa di Ranah  Hukum


Era Reformasi  bermula dengan tekad untuk menciptakan dan membebaskan Indonesia dari masalah korupsi. Undang-undang Pemberantasan Korupsi disertai dengan dibentuknya KPK, menjadi motor pemberantasan  korupsi.


Runtuhnya penegakkan hukum dimulai dari langkah SBY yang  membebaskan Bibit - Chandra Hamza melalui deponeering. Bibit - Chandra bebas, tetapi anehnya saudara Pohan, Andi Malarangeng, dan Angelina Sondakh dibiarkan divonis korupsi.


KPK-nya Novel bebas lakukan kejahatan jabatan, korupsi seperti ditemui dalam laporan tugas pengawasan DPR RI terhadap KPK.


Pandangan Ahli mengenai Distorsi Penegakkan Hukum


Persoalan mendasar adalah hukum telah dikonversikan menjadi alat kekuasaan. 


Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya Indonesia adalah negara yang adil. Mengapa? Karena kesejatian hukum adalah keadilan dengan dua prinsip yang sederhana dan berlaku universal, yakni: neminem laedere (jangan merugikan orang) dan unicuique sum tribuere (berikan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya).


Artinya, negara tidak boleh merugikan anggota masyarakat dan memberikan kepada warga negara apa yang menjadi haknya. Negara tidak boleh merampas apa yang jadi hak warga negara. Tujuan hukum adalah mencegah berkuasanya ketidakadilan, yakni kekuasaan yang melanggar dua prinsip tersebut.


Ketika hukum berubah jadi alat kekuasaan, maka institusi-institusi penegakan hukum mempersepsikan diri sebagai organ-organ negara yang memiliki otoritas hukum yang adalah alat kekuasaan itu.


Ketika dipersepsikan demikian, maka institusi-institusi penegakan hukum, kepolisian, kejaksaan, KPK, pengadilan yang direpresentasikan masing-masing oleh aparat penegak hukum, tidak lagi imun terhadap penyakit kekuasaan yang diungkapkan Lord Acton. Akibatnya, terjadilah praktik korupsi yudisial (judicial corruption) dalam sistem peradilan pidana.


Korupsi yudisial itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk tergantung pada kepentingan atau keuntungan (motivasi) yang hendak dicapai, antara lain: pertama, dalam bentuk transaksi hukum. Kasih uang habis perkara (KUHP). Keputusan yang dibuat dalam sistem peradilan pidana tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan moral dan keadilan, tetapi semata-mata berdasarkan besaran uang atau materi yang dibayarkan kepada aparat penegak hukum; kedua, intervensi kekuasaan politik dari para elit politik. Ini dapat terjadi karena adanya persekongkolan antara elit politik dengan para penegak hukum. Dengan persekongkolan itu kepentingan elit politik dapat dilindungi di satu pihak, dan di pihak lain aparat penegak hukum mendapatkan keuntungan pengamanan posisi jabatan atau promosi jabatan. Persekongkolan seperti ini umumnya terjadi pada tingkat elit pimpinan institusi-institusi penegak hukum. Dalam bentuk hubungan ini, hukum dan sistem peradilan pidana digunakan sebagai alat kepentingan politik.


Kesan “tebang pilih” dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, misalnya, sedikit banyak menggambarkan adanya persekongkolan ini. Dalam praktik “tebang pilih” yang menjadi target penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat selektif pada: pertama, posisi-posisi jabatan tertentu di daerah atau pada instansi tertentu untuk kepentingan politik tertentu, kedua, orang-orang yang berada dalam posisi dukungan politik lemah atau tidak memiliki kekuatan jaringan kolusi dan nepotisme, walaupun orang-orang tersebut tidak berada dalam posisi sebagai orang yang memiliki kompetensi tanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya. Orang-orang tersebut dikorbankan untuk melindungi pihak yang seharusnya bertanggung-jawab atas suatu tindak pidana korupsi.


Hukum yang dikonversikan jadi alat kekuasaan seringkali tak kasat mata. Tetapi dikemas, dibungkus denganitikad baik.


Penegakan hukum dengan tirani itikad baik mengabaikan syarat-syarat terwujudnya procedural fairness dan keadilan prosedural, procedural justice, dalam proses sistem peradilan pidana, seperti syarat-syarat konsistensi, tidak bias oleh kepentingan pribadi, akurasi, dapat dipercaya, dapat dikoreksi, representasi, etika, respek, dan justifikasi. Bahkan tidak segan-segan para aparat penegak hukum melanggar ketentuan hukum acara, dan asas-asas hukum bersifat universal.


Media massa sedikit banyak hanya melihat topeng itikad baik penegakan hukum daripada kejelian dan obyektivitas pencermatan dalam melihat bahwa di balik itikad baik itu ada praktik tirani.  Dalam  kasus-kasus  pemberantasan  tindak pidana korupsi, misalnya, media massa mengamini siapa saja yang diajukan aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan) ke Pengadilan, tanpa menelisik lebih dalam dan lebih cermat apakah orang-orang tersebut adalah pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang didakwakan.


Tak jarang media massa justru menciptakan pengadilan opini publik dan memutuskan seseorang telah bersalah sebelum pengadilan (the court of justice) menjatuhkan putusan.


Kesimpulan


Demokrasi yang kita anut sekarang adalah demokrasi liberal dengan kebebasan menyatakan pendapat yang kebablasan. Keributan atau peradilan jalanan terjadi ketika seorang awak media di proses pidana karena berita fitnah yang dibuatnya atau peradilan media dan peradilan jalanan terjadi dalam kasus pidana Habib Rizieq. 


Sebelumnya telah terjadi hal yang sama ketika kasus korupsi Bibit-Chandra hendak dimajukan ke Pengadilan. 


Peradilan pidana Novel Baswedan, pasti tak kunjung dimajukan ke Pengadilan karena pasti pemerintah, khususnya Jaksa Agung khawatir, bila Novel Baswedan diadili akan terjadi huru hara di seluruh negeri karena Novel Baswedan menguasai media dan LSM ternama dan punya pengaruh besar menggulingkan pemerintahan yang sah.


Pilihan tepat: Indonesia harus kembali ke Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soeharto yang membentuk undang-undang Subversif atau semacam Security Act-nya Singapura.


Ketika peradilan berjalan, dilarang melakukan peradilan jalanan, peradilan media. Di Indonesia, misalnya dalam kasus Habib Rizieq, demo 212 dikerahkan hanya untuk meminta pembebasan Habib Riezieq yang telah diproses pidana.


Demikianlah saya sampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih.



Hormat saya, Prof. Dr. O. C. Kaligis



(Artikel ditulis sesuai dengan surat yang diterima redaksi pada 1 Desember 2021. Editor: Emil Foster,S)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved