Headlines News :
Home » » Jhon SE Panggabean, S.H., M.H : Wartawan Bebas Meliput Persidangan di Pengadilan

Jhon SE Panggabean, S.H., M.H : Wartawan Bebas Meliput Persidangan di Pengadilan

Written By Info Breaking News on Kamis, 27 Oktober 2022 | 20.50

Advokat Senior Jhon SE Panggabean, SH, MH.

Jakarta, Info Breaking News - Bahwa kebebasan Pers di Indonesia dilandasi oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  yang melindungi kebebasan penggunaan berbagai media dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Landasan hukum mengenai kebebasan pers di Indonesia setelah era reformasi adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang-Undang Pers).


Adapun tugas dan fungsi wartawan baik media cetak maupun media elektronik sesuai dan berdasarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Undang-Undang Pers yang diatur antara lain dalam Pasal 1 ayat (4) yang menyatakan: "Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”, dan Pasal 3 ayat (1) menyatakan : “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial." Berdasarkan ketentuan tersebut, maka wartawan terutama yang memang sehari-harinya bertugas meliput di pengadilan adalah berhak dan bebas untuk meliput serta menyiarkan peristiwa yang terjadi di pengadilan atau persidangan. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, dan hampir tidak pernah terjadi masalah antara hakim dan wartawan sehubungan dengan tugas peliputan dalam persidangan suatu perkara.  


Namun ternyata baru-baru ini ada peristiwa yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, sebagaimana pemberitaan media Info Breaking News tertanggal 25 Oktober 2022, dimana dalam berita tersebut pada saat sidang berlangsung karena ada ocehan dari istri terdakwa H. Munalih yang sejak awal tidak mau perkara suaminya yang sedang disidang diliput oleh awak media, dimana hakim yang menyidangkan menegur wartawan.  


"Saya harus tau wartawan mana dan dari pihak mana," ujar Hakim di Persidangan sambil meminta wartawan tersebut maju ke depan agar menunjukan identitasnya, dimana sikap arogansi seperti ini jarang dilakukan oleh Para Hakim di Jakarta, apalagi Paulina Pasaribu adalah wartawan senior yang sehari-harinya bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan adapun perkara tersebut yang diliput adalah perkara pidana dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pasal 378 KUHPidana dan atau Pasal 372 KUHPidana yang terbuka untuk umum. 


Atas kejadian tersebut koordinator Forum Wartawan Mahkamah Agung (FORWAMA) Emil Simatupang melaporkan kejadian tersebut kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Dr. H. Andi Samsan Nganro S.H., M.H. yang juga Juru Bicara Mahkamah Agung, dimana Dr. H. Andi Samsan Nganro S.H., M.H. langsung merespon dan menyatakan akan memanggil KPN agar bisa mensosialisasikan kepada anggotanya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan memandang para awak media adalah mitra kerjanya yang memang harus terjalin secara baik dan bersinergi. Kita patut mengapresiasi atas sikap dari Wakil Ketua Mahkamah Agung yang secara cepat merespon serta  secara positif menanggapi peristiwa tersebut. 


Persidangan pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka untuk umum, seperti diatur dalam Pasal 153 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP  jo. Pasal 13 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) disebutkan bahwa : “Persidangan di pengadilan pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, kecuali dalam perkara mengenai asusila atau terdakwanya anak-anak." Demikian juga dalam perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Ketertiban Umum atau Keselamatan Negara, Perkara Perceraian (gugatan perdata), sehingga masyarakat berhak untuk menghadiri dan melihat serta mendengar persidangan yang terbuka untuk umum,apalagi wartawan yang memang tugasnya meliput persidangan.


Memang beberapa tahun lalu, yakni pada tahun 2020 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan yang menyatakan hakim memiliki kewenangan untuk mengizinkan atau tidak kegiatan dokumentasi selama sidang berlangsung. Pada Pasal 4 Angka 6 disebutkan bahwa "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan."


Adapun Peraturan Mahkamah Agung tersebut, menurut penulis bukanlah bertujuan untuk menghambat tugas-tugas daripada jurnalis, namun hanyalah semata-mata untuk membuat tertibnya proses persidangan, hal ini juga telah dijelaskan oleh Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. dalam Konfrensi Pers Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Agung Rabu (30/12/2020) yang menyatakan bahwa: “Sama sekali kami tidak ingin membatasi jurnalis untuk meliput jalannya peradilan, karena kami ingin peradilan kita transparan dan akuntabel. Kami ingin koreksi agar pengadilan baik, bukan hanya baik di mata yang sidang, tapi bisa diketahui masyarakat di luar sana. Kami atur dengan izin hanya untuk mengatur supaya persidangan bisa berjalan dengan baik. Kenapa ke ketua majelis? karena ketua majelis sesuai UU bertanggung jawab terhadap jalannya sidang."


Berdasarkan ketentuan Undang-undang Pers melarang pers meliput persidangan di pengadilan berarti melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Undang-Undang Pers yang secara jelas menyatakan bahwa : “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara." Dan yang dimaksud dengan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. 


Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)  Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Undang-Undang Pers). Adapun ancaman hukuman berlaku terhadap pihak yang melanggar ketentuan Pasal 4  ayat (2) dan (3)  Undang-Undang Pers tersebut diatur pada pasal 18 yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."


Menurut penulis, sejak reformasi asas tranparansi adalah merupakan bagian dari upaya penegakan hukum, dimana wartawan atau media tugasnya sebagai sosial kontrol untuk mendukung agar proses hukum yang benar dan adil dapat terlaksana. Penulis yakin mayoritas Hakim di Republik Indonesia sudah memahami tugas-tugas jurnalistik wartawan.


Kiranya kedepannya Hakim, Jaksa dan advokat serta wartawandalam persidangan sama-sama menghargai tugas dan fungsinya masing-masing dalam rangka penegakan hukum. *** Emil F Simatupang


*Jhon SE Panggabean, S.H., M.H.  (Advokat Senior dan Pemerhati Media).

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved